Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary

Air Mata Tawa tentang Bu Guru

25 November 2021   23:50 Diperbarui: 25 November 2021   23:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.tribunnews.com/

Bagiku guru adalah sebuah panggilan suci, dan bukan profesi.  Kenapa aku mengatakan demikian, karena menjadi guru bukan sekedar mentransfer ilmu.  Tetapi juga mendidik dalam arti membentuk karakter.  Jika bukan dikarenakan hati, maka ini tidak akan terwujud.  Terlebih di era semakin kekinian, di mana anak makin kritis.

Mungkin dari sekian perjalananku mengenal guru-guru yang pernah mendampingi kedua remajaku, ada beberapa yang memiliki kesan.  Tanpa bermaksud aku mengabaikan yang lainnya.

Cerita tentang seorang guru ketika putriku di kelas 6.  Usia kritis, diantara masih kanak-kanak tetapi mau beranjak menjadi remaja.  Aku sendiri orang tuanya merasa di usia ini, putriku tanpak ingin menunjukkan dirinya, ini aku, mandiri dan dewasa.  

Tentang hari itu seperti biasa aku menjemputnya di sekolah.  Hari yang menjadi luarbiasa akibat ulahnya.  "Mama, aku tadi usir ibu ... (menyebut namanya) dari kelas," katanya cuek.  Lalu lanjut pernyataan tak kalah seru pun datang dari rombongan teman sekelasnya yang berebut bercerita.

Jantungku serasa copot, dan mulutku kelu.  Sementara, tidak aku lihat sedikit rasa takut di wajah putriku.  "Aku tidak salah," katanya mantap.

Ceritanya hari itu ibu guru ini masuk mengajar di kelas putriku.  Mungkin suasana hatinya sedang tidak baik, bawaan dari kelas sebelumnya.  Lalu tanpa alasan bu guru ini berkata amarah, "Jika kalian tidak suka dengan ibu, silahkan keluar dari kelas ini."

Betapa kagetnya kelas putriku, karena mereka tidak ada niat membuat ulah.  Kalaupun mungkin kelas seolah sibuk sendiri, itu dikarenakan selesai pergantian guru.  Sehingga anak-anak masih sibuk membereskan buku-buku dari pelajaran sebelumnya.

Entah angin darimana yang berhembus, tetapi dengan kacaunya putriku bersuara.  "Maaf, ini kelas kami.  Jadi jika tidak suka, harusnya ibu yang keluar," katanya berujar sambil berdiri.

Masih menurut pengakuan jujur putriku, maka menangislah ibu guru, keluar dan menutup pintu cukup kencang.  Ngerinya, tidak satupun dari anak-anak mengejar untuk meminta maaf.  Mengapa aku mengatakan ngeri, karena ibu ini dikenal sangat tegas dan dilabeli "killer" diantara omongan anak-anak. 

Bayangkan, betapa ngawurnya ulah putriku ini.  Meski harus aku akui, aku mendidik putriku untuk berani berpendapat jika yakin pada sebuah kebenaran.  Tidak ada abu-abu, yang ada hanya salah dan benar.  Bisa jadi, inilah bentuk dari berani berpendapat putriku yang over confidence.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun