Tertular euforia Idul Fitri itulah diriku yang memang tidak merayakan Lebaran. Â Tetapi, untukku setiap hari besar, baik Idul Fitri ataupun Natal selalu berarti bersyukur dan toleransi. Â Terlebih saat ini, ketika pandemi sudah meluluh lantak semua sendi. Â Tidak sedikit dari saudara kita yang kehilangan pekerjaan. Â Sehingga menurutku, jika libur mencuri kebahagiaan Idul Fitri rasanya kebangetan sekali.
Satu pelajaran penting, pandemi membuat sebagian orang terpaksa bekerja di rumah atau Work from Home (WFH). Â Terdengar enak sih, tetapi sebenarnya justru jadi lupa waktu. Â Tanpa disadari kita menjadi kebabalasan kerja melebihi jam kantor. Â Tidak hanya hari kerja, bahkan weekend pun bablas kerja! Â Tidak bohong, ini pengakuan seorang teman baikku. Â Sehingga menurutnya, hari libur ataupun tidak, tidaklah berbeda.
Lalu bagaimana dengan aku? Â Aku sendiri bukan pekerja kantoran, hanya ibu rumah tangga yang bekerja lepas dan menjadi virtual secretary. Â Pekerjaan yang menuntutku untuk bisa membagi waktu sendiri, antara menjadi ibu dan pekerjaaan tanpa jam kantor ini. Â Sehingga kembali lagi, membicarakan apakah bekerja di saat hari besar misalnya Lebaran atau Natal bermasalah atau tidak, maka untukku tidak. Â Intinya semua berpulang pada kemampuan membagi waktu saja.
Tetapi, cerita berbeda datang dari pasanganku yang tidak bisa berharap banyak pulang di hari Natal, apalagi Lebaran. Â Pekerjaanya di pedalaman menuntutnya untuk memiliki toleransi tidak sebatas agama saja. Â Tentu di Idul Fitri, pasanganku yang non-Muslim harus berbesar hati mengalah tidak pulang dari lokasinya bekerja. Â Tetapi, bukan berarti ketika Natal lalu otomatis bisa pulang, karena terkadang juga harus mengalah. Â Mengalah karena kondisi pekerjaan sedang tinggi karena akhir tahun, atau mengalah demi urusan keluarga anak buahnya.
Nyatanya hal ini tidak menjadi soal bagi pasanganku dan kami keluarganya. Â Perjalanan hidup mengajarkan kepada kami untuk selalu melihat segala hal itu baik, dan belajar bersyukur. Â Bersyukur karena kesehatan, bersyukur karena masih memiliki pekerjaan, dan bersyukur karena bisa mengalah. Â Kenapa demikian, karena mengalah adalah hal tersulit. Â Kita ini ditantang oleh ego diri kita sendiri.
Ini juga bukan hal yang langka, karena profesi dokter, perawat, pilot, sekuriti dan banyak lagi juga tidak mengenal hari libur. Â Tidak menutup kemungkinan mereka terkondisikan bekerja disebabkan harus mengalah demi teman misalnya, atau karena kemungkinan lainnya. Â Hal seperti ini tidak perlu diperbesar dan mencuri kebahagiaan di hari raya.
Seingatku, dua kali Natal pasanganku harus tetap di pedalaman. Â Seorang anak buahnya meminta cutinya dimajukan untuk kepentingan darurat keluarga. Â Singkat cerita, aku bersama kedua anak kami Natal itu bergereja tanpa kehadirannya.
Tetapi, ternyata ada hikmah dibalik itu semua. Â Pasanganku bisa melihat bagaimana masyarakat pedalaman merayakan Natal dalam kesederhanaannya yang tanpa kue, baju baru dan alas kaki. Â Beberapa foto dikirimkannya lewat WA, dan sangat menyentuh perasaan kedua anak kami. Â Pelajaran hidup yang mahal, tidak bisa diperoleh di bangku sekolah.
Hal sama pastinya di Idul Fitri tahun ini. Â Dipastikan pasanganku akan terus bekerja di site, mengambil alih beberapa kerjaan rekannya yang pulang untuk berlebaran. Â Terus, apakah ini harus dibesar-besarkan? Â Hahaha...ngapain, seperti tidak ada kerjaan lain saja!
Secara logika memang ketika hari besar kita tidak bekerja. Â Secara logika memang ketika hari besar maka untuk mereka yang bekerja di site bergantian. Â Tetapi, ada yang lebih dari itu semua adalah toleransi dan kebesaran hati. Â Menurutku, inilah yang membentuk kita untuk selalu bersyukur.