Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ada Apa dengan Singkong?

4 Maret 2021   21:23 Diperbarui: 4 Maret 2021   21:29 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore yang teduh saat aku curhat ke kamu yah khan, diary?  Iya, di luar sana hujan rintik membuat adem Kota Jakarta.  Ehhmm...jadi ngences ngebayangin gorengan.  Lalu, aaa...ahaaayy....teringat dua hari lalu tetangga depan rumah baru saja mengantarkan singkong.  "Tante, ini ada singkong dari mama.  Singkongnya enak tan, kami dikirim dari kebun saudara.  Tante goreng deh kalau nggak percaya."  Heheh...promo habis anak tetangga depan rumah, Yossie namanya.

Aku dan seberang rumahku memang sesekali bertukar kirim, kebetulan mamanya Yossie jago masak.  Yups...beruntunglah aku sering dikirimin.  Sebaliknya, jika aku kumat rajin, aku pun balik kirim.  Yoi, seru memang bertetangga jika klop.

Singkong ini juga sebenarnya mau aku proses kemarin.  Tetapi, nampaknya Tuhan tidak izinkan, karena kemarin kakak iparku, dua ronde mengirim makanan.   Puji Tuhan, kemarin itu ulang tahunnya, dan kami kebagian kenyangnya.   Kembali hahahh...pamali nggak boleh nolak berkat khan.  So sweet memang, karena kagetnya 2 kali jadinya kemarin itu.

Itu sebabnya, jadilah sore rada dingin ini singkong diolah.  Tapi, ehhhmmm...aku mulai galau.  Serius, seumur hidupku belum pernah mengolah singkong.  Bahkan maaf, menggorengnya saja belum pernah!  Apalagi singkongnya ini masih berkulit, dan ada tanahnya.  Otakku berpikir, jelas kulit harus dikupas.  Terus, apakah setelahnya direbus?  Bumbunya apa yah kira-kira supaya seenak tukang gorengan.

Heheh...aku jadi ingat cerita dulu sewaktu tinggal di Melbourne.  Dinginnya Melbourne bikin aku kangen bubur kacang ijo.  Kebetulan waktu itu weekend, dan aku sedang longgar tidak ada tugas kuliah.  Jadwal kerja part-time juga sudah selesai.  Maka sotoy pulang kerja, aku tancap gas belanja di Asian Market, kacang ijo mentah, daun pandan, gula merah dan santan kotak.  Di sana aku bertemu dengan teman Indonesia yang tinggal satu flat, Reiko namanya.

"Wuihhh...keren nih mau bikin bubur kacang ijo yah?  Gua bagi yah nttar.  Terserah, lu mau suruh gua ke flat lu, atau lu bawa ke flat gua.  Tenang, nttar gua bikinin teh panas pakai gula batu."  Begitu rayu Reiko, dan aku menyanggupi kami makan di flatnya saja.  Melbourne ketika itu suhunya menusuk hingga ke tulang.  Membayangkan bubur kacang ijo dan teh gula batu dipastikan indah sekali.  "Oiya, kacang ijonya supaya empuk direndam dulu," sambung Reiko mengingatkan sebelum dirinya pergi kuliah.

Singkat cerita, aku lakukan merendam kacang ijo supaya empuk.  Ehhhmm...kenapa tidak empuk, kataku.  Sementara sudah seharian aku menunggu, mau kapan dimasak kalau belum empuk.  Selagi memandangi kacang ijoku yang terendam setengah hari, tiba-tiba terdengar pintu flatku diketok dan ternyata Reiko!

"Wkwkwk...haahhhaa....dodol..., elu memang dodol!  Ngebadut, atau srimulat nih?  Sampai kiamat juga itu kacang kagat bakal empuk!  Maksud gua, kalau direndam dulu, nttar pas dimasak jadi lebih empuk!  Jadi bukannya elu tungguin sampai empuk baru dimasak!"  Ngakak habis Reiko mentertawakan kedodolanku.

Sementara aku, cuek saja.  Namanya juga belum pernah.  Lagian, mendingan gualah biar belum pernah tapi mau mencoba, kataku bela diri.  Heheh...dan akhirnya kami masak berdua.  Lebih tepatnya, aku doang akhirnya sih karena Reiko segera kembali ke flatnya menyelesaikan tugas kuliahnya dulu.  Aku maklum, begitulah kami yang belajar di negeri orang, harus saling mendukung.

Nikmatnya kacang ijo dan teh gula batu yang aku bawa sepanci ke flat Reiko.  Hahah...sekejap tandas karena beberapa teman Indonesia datang main ke flat Reiko.  Biasalah, setiap weekend digunakan untuk cari makanan Indo di flat kawan.  Tetapi, nggak sopannya Reiko karena membongkar aib tentang kedodolanku, dan jadilah kami tertawa.

Tertawa karena setelah jauh dari rumah ternyata banyak hal yang tidak kami ketahui.  Bahkan, seorang temanku cerita kalau dirinya baru tahu menyetrika setelah kuliah jauh.  Seorang lagi bercerita bagaimana paniknya dia kalau menggoreng, yang menurut ceritanya nyaris dilempar saja supaya tidak keciprat minyak.  Padahal, menurut pengalamanku sih, kalau menggoreng di letakkan baik-baik saja lalu tutup.  Pasti aman, tidak keciprat. Heheheh...tetapi itulah serunya belajar jauh karena bonusnya jadi mandiri dan belajar hidup.

Ini seperti singkong di depan mataku sore tadi yang aku tidak tahu cara menggorengnya.  Tetapi aku sombong tidak mau lihat dari youtube.  Lah apa iya, goreng singkong mesti nanya youtube, kataku dalam hati.  Heheh..

Maka singkong itu pun aku bersihkan dari tanahnya, bahkan aku cuci!  Lalu aku kupas dan potong menjadi beberapa bagian.  Setelahnya, dengan percaya diri aku lumuri garam dan bubuk bawang putih.  Diamkan 30 menit menurut rumusku, supaya resap.  Terakhir aku goreng deh di minyak panas mirip abang gorengan.

Ehhhmmm...kenapa penampilannya tidak wokeh yah kataku dalam hati.  Nyerah, aku pun bertanya kepada ahlinya, mamaku.  "Ma, goreng singkong itu langsung atau direbus dulu sih?  Ini singkong dari Yossie, katanya gembur dan bisa langsung goreng.  Tetapi kenapa ini kelihatannya kaku yah, kenapa tidak seperti singkong abang-abang yah?"

Menurut mama, no problem boleh direbus dan juga boleh langsung.  Tergantung jenis singkongnya, bagus atau tidak.  Lalu mama menyarankan, dicoba saja dulu yang sudah digoreng itu rasanya bagaimana. 

"Woww.....cakepp....ternyata don't judge the book from the cover!  Walau casing terlihat kaku, tetapi begitu dimakan, renyah, gembur!" kataku segera setelah mencoba satu singkong.  Maka lanjutlah aku semangat menggoreng sisanya.

Sore ini kami pun menikmati singkong goreng di tengah rintik hujan.  Jangan heran kalau kami menikmatinya dengan cabe rawit, itu cuma kebiasaan saja.  Seperti dulu sewaktu aku kecil di Kalimantan Timur, singkong goreng bahkan dinikmati dengan sambel kacang.

Begitu deh diary, ceritaku tentang singkong.  Ilmu baru yang aku pelajari karena kiriman dari tetangga depan rumah.  Kesimpulannya menurut orang rumahku, singkongnya enak, renyah dan bumbunya juga cocok.  Terbukti tandas, licin seketika!

Oiya, satu pelajaran buatku dan kedua anakku yang tadi ikutan menatapi singkong.  Bahwa hal-hal sederhana ternyata belum tentu kita bisa dan tahu melakukannya.  Jadi, hidup adalah sebuah perjalanan panjang untuk belajar, dan belajarlah tentang apa saja.  Tidak perlu malu untuk belajar, kalau memang tidak tahu.

Sudahan dulu yah diary, terima kasih untuk menjadi tempatku berbagi.

Jakarta, 4 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun