Malam diary, maaf baru menyapamu kembali. Â Bukannya aku sombong, atau pindah ke lain hati. Â Nggak, kamu itu tetap yang terbaik menjadi tempat curhatku kok.
Begini, beberapa hari lalu anakku yang bungsu curhat, "Mama, teman aku kok jadi keterusan sih nanya-nanya tugas sekolah? Â Aku sudah pernah bantu beberapa kali, tapi kenapa jadi ketagihan?"
Ehhhhmmm...kataku dalam hati. Â Iya, aku ingat pernah beberapa waktu lalu putraku ini menanyakan apakah boleh membantu temannya yang menanyakan tugas sekolah. Â Boleh nggak tugasnya difoto dan dikasih ke temannya. Ketika itu aku bilang, iya kasih saja dek, tapi jangan semua yah.
Salahku, tidak mengikuti kelanjutannya. Â Ternyata tidak sekali, tetapi jadi nambah beberapa kali rupanya. Â Alasan putraku memberi, kasihan ma. Â Ehhhmmm....kembali dalam hati yang jujurnya kesal. Â Kok yah enak banget temannya itu. Â Istilahnya, anak gua yang belajar, terus doski tinggal terima beres? Â Lagipula, pikirku apa iya karena kasihan maka anakku ini memberikan tugasnya?
Tenang...tenang...kataku dalam hati dan mencoba menyibukkan diri di dapur, mencari jalan bagaimana menyelamatkan anakku dengan cara manis tanpa menekannya dan menyinggung perasaan kawannya tersebut.
Selagi sedang berpikir, eee...tahu-tahu putraku menghampiri dengan wajah campur aduk, kesal, galau dan khawatir.
"Mamaa...ihhh... aneh nih temanku ma. Â Aku tadi sudah jawab Whatsappnya dan bilang belum mengerjakan tugas itu. Â Tapi, kok jadi nyebelin banget sih tuh anak. Â Masak dia bilang, aku harus buat sekarang karena dia sudah atur jadwal mau ngegame." Â Kemudian dengan nada kesal putraku merinci isi WAnya, "Lu buruan buat sekarang dong, gua mau ngegame soalnya. Â Gua tunggu yah cepatan."
Fix sudah, aku pun ikutan kesal. Â Lha...kok enaknya sendiri itu bocah. Â Bagaimana diary, kamu setuju dong kalau ini sudah tidak sehat! Â Aku bisa terima kalau berbagi jawaban tugas untuk 1 atau 2 soal, ataupun belajar bersama mencari jawaban. Â Tetapi, kalau maunya terima beres, mana bisa begitu kawan!
Menurutku ini masuk kategori bullying, karena anakku merasa tertekan atas perlakuan temannya yang sok kuasa itu, dan dilakukannya berkelanjutan. Â Persisnya, ini disebut cyber bullying sebab dilakukannya dengan menggunakan media elektronik.
Persoalannya kita tidak sedang sekolah normal alias kita ini sedang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Â Jadi, kita tidak mengenal baik karakter anak-anak dari teman anak kita. Â Menurutku bisa repot urusannya jika aku lapor ke guru. Â Ngerinya juga, orang tua anak tersebut tidak terima. Malah cerita bisa menjadi meriah nggak karuan nantinya.
Aku juga harus memikirkan perasaan si bungsu, seandainya nanti kembali sekolah normal. Â Jaga-jaga anak tersebut dendam dan berulah cari gara-gara. Segala kemungkinan harus aku pikirkan. Â Betul nggak diary, bagaiman menurutmu?
Lalu aku menghampiri anakku yang terduduk bingung sendiri. Â Aku minta maaf kepadanya karena tidak tahu bahwa permintaan temannya itu berkelanjutan. Â Kemudian aku menjelaskannya, tidak benar selalu memberikan hasil tugas sekolah ke temannya itu. Â Satu atau dua jawaban boleh, tetapi tidak seluruh hasil kerja. Â Berdiskusi boleh, tetapi tidak terima beres.
Tidak gampang untukku membuatnya mengerti. Â Anakku berdalih dicuekin saja, nggak usah jawab WA dia ma. Â Tetapi aku tidak setuju, karena mendiamkan WA nya bukan solusi, Â Itu menghindar, dan bukan menyelesaikan.
 "Dek, tulis sekarang di WA, bilang maaf aku tidak bisa kasih kamu."  Begitu kataku dengan lembut tapi tegas.  Aku menunggunya menulis kalimat itu di WAnya dan memastikan terkirim
 Bla..bla...bla...awalnya anakku mencoba berkelit ketika aku memintanya menuliskan WA tersebut.  Paham, anakku khawatir respon dari temannya itu. Â
Tetapi, aku mengajak anakku ini berpikir, bahwa ketika PJJ saja teman itu berani sok berkuasa, dan ini namanya bullying. Â Bullying tidak selalu berupa kata-kata merendahkan, menghina ataupun mempermalukan. Â Tetapi bullying bisa juga berupa terror atau tekanan.
Bayangkan jika kita tidak berani bersikap. Â Ketika sekolah normal, bukan tidak mungkin akan lebih menggila. Â Model anak seperti ini bukan hanya satu, bisa jadi lebih. Â Tetapi, ketika kita berani bersikap dan tidak memberi kesempatan orang lain menekan maka orang tidak bisa seenak hati kepada kita.Â
Kemudian aku menjelaskan kepada anakku, bahwa di luar sana penuh kejutan. Â Orang akan main sikut seenaknya. Â Kita harus berani bersikap agar tidak dipermainkan atau diremehkan. Intinya, kita harus menghormati diri sendiri terlebih dulu, supaya orang lain hormat kepada kita. Jangan pernah biarkan orang menindas kita dalam bentuk apapun.
Pelajaran berat dan berharga untuk kami berdua. Â Aku memilih menyelesaikannya sendiri tanpa harus bercerita kepada wali kelas. Â Ini juga salahku, di awal terjadi tidak memantau perkembangannya. Â Teguran banget untukku yang meskipun sudah berusaha memantau anak-anak semasa PJJ, ternyata masih kurang rinci.Â
Tetapi, bersyukur karena si bungsu datang kepadaku saat dirinya merasa tidak nyaman atas kelakuan temannya itu. Â Maafin mama yah dek.
Ehhhmmm....lalu bagaimana kelanjutan WA nya? Â Apakah anak tersebut marah? Â Menurut anakku, temannya itu tidak menjawab meskipun pesan sudah dibaca olehnya.
Baguslah, setidaknya anak tersebut sudah tahu bahwa ke depan tidak bisa lagi meminta hasil tugas sekolah seenaknya. Â Dia harus tahu bahwa anakku ini berani bersikap.
Kepada anakku, aku bilang jangan khawatir kehilangan teman model seperti itu. Â Tidak perlu takut selagi kita benar. Â Ingat, teman yang baik tidak merusak dan menyakiti, begitu kataku.
Begitu deh curhatku diary, agak berat yah ceritanya? Â Tetapi hatiku sudah ringan sekarang, karena si bungsuku tidak lagi terbeban oleh temannya itu.
Sekarang aku bobo dulu yah. Â Terima kasih untuk selalu menjadi teman sejati menampung curhatku. Â Kamu, diary kertas tak bergaris.
Jakarta, 8 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H