Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku, dan Kami "Pejuang" Receh

31 Desember 2020   02:14 Diperbarui: 31 Desember 2020   02:20 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini sekaligus pengingat perjalananku di tahun 2020.  Tahun yang sekalipun penuh airmata tetapi lewat orang lain aku belajar banyak, dan itu sangat berarti! 

Sedikit tentang aku yang memang menyukai menulis.  Kecemplung di dunia tulis menulis, gara-gara sentilan guru anakku ketika di SD, "Bu, daripada menulis di FB, mbok nulis di portal atau ikutan website resmi.  Selain bisa mengembangkan diri, juga bisa mencerdaskan alias menjadi berkat untuk orang lain."  Semangat yang sama juga datang dari adekku. "Kak, coba gabung di salah satu portal dong."

Singkat cerita, jadilah aku penulis.  Kemudian akhirnya waktu juga membawaku bergabung di Kompasiana.  Disini aku semakin diasah kemampuan menulisnya.  Bahkan, puisi yang tidak pernah aku sentuh, justru membuatku jatuh cinta sejak bergabung di Kompasiana.

Tetapi, artikelku bukan mengenai ini.  Ini mengenai pandemi Covid yang mengubahku untuk berani bersuara, dan berani berbuat sekalipun melawan arus mungkin.

Kebetulan aku juga bergabung dengan komunitas penulis lainnya.  Disana aku mengenal lebih dalam mengenai Covid dan sosok Dokter Monica sang inisiator Terapi Plasma Konvalesen (TPK) yang kini inovasinya sudah menjadi program nasional pemerintah untuk mengobati pasien Covid.

Perkenalan dan mengenal Covid ternyata membawaku melebar.  Kita tahu di awal pandemi Indonesia mengalami kesulitan Alat Pelindung Diri (APD) dan lonjakan harga masker yang menggila.  Tidak tahu bagaimana Tuhan membuat skenario.  Tidak ada angin, apalagi topan tahu-tahu seorang teman menghubungiku dan menawarkan jika ada dokter atau rumah sakit membutuhkan APD maka organisasinya akan mencoba membantu.

Heheh...Tuhan memang tidak pernah setengah-setengah ketika mempercayai kita.  Tidak sampai lama, seorang teman lainnya menghubungi apakah bisa membantu mengadakan APD karena banyak rumah sakit membutuhkan.   Lalu teman lainnya juga sama, menawarkan siap membantu mengadakan APD.  Bahkan luar biasanya temanku yang ini menjahit masker satu per satu untuk disumbangkan!

Jujur, aku ini bukan siapa-siapa.  Aku hanya kebetulan "sedikit" mengetahui tentang Covid, dan TPK.  Pengetahuan inilah yang sering aku bagikan kepada teman-teman di group Whatsapp, baik group gereja, orang tua, atau lingkungan pertemananku.

Jalan cerita kemudian membawaku mengenal komunitas dokter dan beberapa rumah sakit di tanah air.  Iya, di tanah air karena kelangkaan APD dan masker di awal pandemi memang memprihatinkan.

Puji Tuhan, bukan karena hebatnya aku pastinya, tetapi beberapa rumah sakit berhasil mendapatkan bantuan ketika itu.  Tentunya, harus memenuhi persyaratan yaitu dikategorikan rumah sakit yang tidak mapan dan belum mendapatkan bantuan sama sekali.  Kenapa kok yang tidak mapan?  Karena jika mapan maka seharusnya rumah sakit tersebut dapat membeli sendiri ketimbang mengandalkan bantuan.  Begitulah kira-kira ilmu yang aku dapat.  Ilmu yang mendadak aku pahami. 

Berjalannya waktu, jangan ditanya rasa haru ketika aku mendapatkan WA dari dokter atau rumah sakit yang ternyata dikirimi bantuan oleh temanku.  Foto-foto yang mereka kirimkan membuat aku nangis benaran!  Padahal, aku saja lupa, rumah sakit mana saja yang sudah aku rekomendasikan.  "Bu, terima kasih karena sekarang tenaga medis kami sudah mempunyai APD.  Puji Tuhan bu, bantuannya sudah kami terima.  Alhamdulillah, bantuan sudah sampai bu.   Kami tidak bisa membalas kebaikan ibu, biar Tuhan yang membalaskannya bu.  Bu, Tuhan memberkati hati ibu." Demikian beberapa isi ucapan WA terima kasih mereka.

Rupanya perjalananku masih berlanjut.  Seperti ada beban moril mengedukasi group dimana aku bergabung.  Bisa saja aku diam, karena apa untungnya aku berbagi pengetahuan.  Tetapi kok rasanya nggak enak, ada rasa terbeban.  Tanpa merasa jemu, sekalipun dikacangin tetap saja aku berbagi ilmu mengenai pandemi Covid, protokol kesehatan, dan TPK.  Entah itu dengan berbagi informasi yang aku peroleh, ataupun dengan membuat tulisan yang aku bagikan.

Penasaran reaksinya?  Disinilah uniknya, mayoritas diam, dan beberapa suara menentang.  Suara menentang ini bahkan menjatuhkan dan memojokkan aku.  Begitupun, aku tidak mundur.  Satu ucapan Dok Mo yang aku pinjam, "Satu nyawa berarti."  Inilah yang membuat aku tetap bersuara melawan arus.

Seiring waktu, kembali Tuhan membawaku kepada ceritaNya.  Cerita dimana aku mulai didengar.  Satu persatu orang-orang yang dulu membuang muka kini berbalik arah.  Tanpa bermaksud menyombongkan diri, akhirnya aku juga membantu mereka yang butuh informasi plasma untuk TPK.  Ada saat aku ikutan mengeluarkan airmata saat kehilangan, dan bahagia ketika ada jiwa yang berhasil diselamatkan.  Semua kabar selalu aku bagikan kepada Dok Mo dan beberapa teman yang selama ini bersamaku berjuang di masa pandemi Covid.

Mereka adalah termasuk orang biasa yang di awal pandemi rela menjahit sendiri masker untuk disumbangkan, mereka yang rela mengumpulkan donasi untuk pengadaan APD, bahkan mereka yang rela bergotong royong membuat faceshield agar bisa dikirim ke daerah.

Aku dan kami hanyalah perpanjangan tangan Tuhan.  Langkah kakiku ini adalah berkat semangat yang terus dipompakan teman-temanku.  Modal untuk terus bersuara lantang mengedukasi, setidaknya untuk orang-orang terdekat disekitarku.  Kembali meminjam ungkapan Dok Mo, "Tuhan saja tidak pernah menyerah kepada manusia.  Apalagi kita manusia kepada sesama."

Inilah tanda kasih untuk teman-teman yang selama ini berada bersamaku.  Mudah-mudahan "perjuangan" receh kita bisa memberkati.

Jakarta, 31 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun