"Cuci piring di dapur, dan setrika semua baju itu. Â Setelah semua beres, baru belajar. Â Atur waktunya yang benar, kalau nggak mau tinggal kelas," santai banget suara ompung waktu itu. Â Padahal kami mempunyai asisten rumah tangga sebenarnya. Â Tetapi, justru mereka diminta istirahat saja oleh ompung.
Ngeriii.... baju ompung itu gede-gede! Â Iya, ompungku itu gemuk, tinggi besar. Â Kebayang dong betapa besar dan sulitnya daster ompung untuk aku setrika. Â Padahal ukuran tubuhku terbilang mungil. Â Tetapi, hikkssss...ompung cuek saja tuh.
Menurut ompung, perempuan itu tetaplah perempuan. Â Jadi meskipun pintar, dan jadi apapun nanti, tetaplah harus bisa menjadi perempuan. Harus mengerti mengurus rumah, dan menjadi ibu yang baik. Â Menjadi wanita karir itu bonus, itu katanya.
Heheh...ompungku memang unik, tetapi juga cantik loh.  Iya, begitu julukan orang di gereja setiap kali kami berdua beribadah.  "Ompung na jeges," itu julukannya.  Jeges dalam bahasa Batak berarti cantik, dan memang perempuan tua yang kurindu itu cantik dan wangi!
Hari Minggu saat beribadah dengan ompung juga "melelahkan" bagiku. Â Ompung itu ribet, karena sibuk mengepang atau mengucir rambutku dengan pita yang dibelinya di Pasar Tanah Abang dari uang pensiun Bidan. Â "Nah, bajumu merah, cocoklah dengan pita ini," begitu selalu ompung mendadaniku yang sudah SMP loh ketika itu.
Selesai ibadahpun bukan berakhir, karena ompung sibuk haha...hihi...dengan sesama ompung lainnya. Â Sedangkan aku hanya bengong berada di sampingnya, dengan tanganku tertawan dalam genggamannya.
Pernah aku protes mengenai ini, "Pung, kalau selesai gereja, langsung pulang sajalah kita. Â Aku nggak ngerti bahasa Batak. Â Lagi pula, ngapain aku berada diantara ompung-ompung," begitu protesku masam
"Loh, justru itu persoalannya, supaya dirimu mengerti bahasa Batak. Â Mengerti adat, dan tahu saudara-saudara," begitu katanya lembut tapi mantap.
Seiring waktu terus bergulir hingga akhirnya aku pun menyelesaikan kuliah, dan memutuskan melanjutkan ke negeri orang.
"Bisa ompung bicara sebentar. Â Tidak ada yang bisa ompung berikan untukmu. Â Melanjutkan pendidikan ke negeri orang itu pilihanmu, papa dan mamamu pun setuju," begitu malam itu ompung bicara dikamarku sehari sebelum keberangkatan.
"Selama ini ompung keras, bukan karena benci, justru karena cinta. Â Tidak bisa ompung berada di dekatmu nanti, atau selamanya. Â Tetapi Tuhan Jesus akan menjagamu selalu. Â Di setiap doa ompung, tidak pernah namamu lupa disebut. Â Persis seperti mamamu, anak ompung yang tidak pernah lupa mendoakanmu. Â Kemanapun nanti kakimu melangkah, takutlah akan Tuhan, dan andalkan Dia," demikian nasehat ompung sambil memelukku dan menyanyikan sebuah lagu untukku "Di Doa Ibuku Namaku Disebut".