Guru adalah sosok yang mulia. Mereka bukan sekedar mengajari atau memberi ilmu, tetapi juga membentuk anak-anak kita menjadi manusia utuh yang berbudi pekerti.
Menjadi orang tua dari 1 atau 2 orang anak saja sudah bikin kepala puyeng. Â Bandingkan dengan guru yang harus mengajar dan bertanggungjawab untuk kurang lebih 30 anak dalam satu kelas. Â Bayangkan jika guru bersangkutan memegang beberapa kelas. Hiks...rasanya keluh kesah dan kekesalan kita tidak ada artinya dengan pengabdian mereka.
Tahun ajaran 2020 menjadi sangat spesial terkhusus untuk negeri kita Indonesia. Pandemi Covid memaksa dunia pendidikan untuk belajar cepat menggunakan teknologi. Era digital yang dulu hanya gaung nyaring, kini dipaksakan untuk menjadi bagian dari keseharian kita.
Mengenai kesulitan itu sudah pasti. Bukan hanya kondisi ekonomi rakyat Indonesia yang masih belum memadai, juga kondisi geografis negeri ini yang membuat akses internet menjadi barang mahal. Tetapi ternyata tidak hanya itu, karena guru sebagai tiang pendidikan pun mempunyai kesulitannya tersendiri. Berbagai kendala ini begitu kompleks, tetapi pendidikan harus terus berjalan.
Yup, faktanya tidak semua tenaga pengajar negeri ini melek teknologi. Â Banyak dari mereka masih sangat tertinggal. Â Inilah yang kemudian menjadi kendala terbesar salah satunya, kebiasaan mengajar konvensional tatap muka membuat jarak antara guru dan peserta didik. Â Jika sudah demikian siapa yang berteriak? Yup, suara orang tua paling nyaring karena khawatir anaknya ketinggalan pelajaran.
Saya pribadi memiliki pengalaman, ketika menurut saya dengan seenaknya guru memberikan materi di masa pandemi ini tanpa ada proses mengajar. Â Lalu anak-anak kelimpungan untuk mengerjakan soal yang mereka tidak pernah diajarkan oleh gurunya.
Ini belum lagi hambatan penggunaan aplikasi karena tidak semua guru mengerti menggunakan Google Classroom, Google meet ataupun Google Drive yang umum digunakan di masa pandemi ini. Â Banyak dari mereka memilih menggunakan WhatsApp untuk mengirimkan materi, dan demikian juga mengumpulkan tugas.Â
Nah, bayangkan betapa semrawut dan besarnya memori yang harus dimiliki setiap anak. Â Padahal untuk memiliki gadget saja tidak semua anak mampu. Â Konon lagi berharap gadget dengan memori besar.
Jujur ini menjadi "pertengkaran" saya yang kebetulan orangtua dari 2 anak, dan dipercaya menjadi Wakil Orang Tua Kelas (WOTK) di sekolah anak-anak. Sedih dan merasa nggak berdaya setiap kali melihat anak menjerit karena tidak mengerti tugasnya, ataupun disudutkan gurunya karena tidak mengumpulkan tugas. Padahal mereka sudah mengumpulkan, tetapi teknologi tidak menjamin tidak ada kemungkinan eror. Ujungnya pada banyak kasus anak yang selalu dipersalahkan.
Masukan dan saran terus saya berikan kepada pihak sekolah. Â Mengerti dan paham banget mereka dipaksa untuk pintar dalam sekejap demi anak-anak didiknya yang ternyata lebih pintar dan canggih dalam berteknologi.