Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Jalan Sahabat

28 September 2020   03:15 Diperbarui: 28 September 2020   03:20 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu mama terlihat bahagia sekali.  Lebih 35 tahun dirinya menunggu untuk kembali bertemu sahabat-sahabatnya dulu ketika mereka masih belia.  Saat mereka masih menyandang nama besar suami yang telah mendahului mereka.

Berdandan cantik mama menunggu diatas kursi rodanya di teras rumah kami.  Sangat terlihat tak sabar untuk menumpahkan rindu yang dipendamnya selama ini.  "Duh...kok mereka lama sekali yah.  Jangan-jangan mereka kesasar," gumamnya seorang diri.

Tak lama aku melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah kami.  Tampak olehku yang mengintip dari dalam, dua perempuan renta turun dari mobil itu.  Keduanya masih menyisakan kecantikan mereka.  Iya, mereka Tante Tumilar dan Tante Pitoyo.  Ingatanku kembali melayang saat diriku masih kecil sering bertemu dengan mereka.

Katakan aku cengeng dan lembek, tetapi tidak untuk tiga sahabat hebat ini.  Suara ramai itupun terdengar hingga ruang tamu kami. Berbeda dengan dulu, saat mereka muda.  Aku mendengar kini ketiganya berlomba mempertontonkan kondisi kesehatannya.  Lalu memamerkan daftar obat dan dokter jagoannya.

Tidak sedikitpun mereka terusik dengan kenyataan hidupnya sekarang.  Ketika itu Tante Tumilar sudah 25 tahun menderita kanker payudara yg kemudian menyebar ke paru-paru.  Tante Pitoyo, 30 tahun menderita kanker pencernaan yang kemudian menyebar ke organ lainnya hingga mengharuskannya memakai alat penyangga badan.  Sedangkan mamaku stroke dan lumpuh lebih dari 18 tahun.

Mataku mulai basah haru, tetapi tidak untuk mereka.  Kebahagiaan itu jelas terasa lewat tawa lepas, meski dalam sakit dan keterbatasan.  Tiga sahabat yang hanyut dalam sukacita yg luarbiasa.  Bak gadis ABG mereka berunding mau jalan kemana enaknya. 

"Kita makan saja yuk, makan mie di Pondok Indah.  Kamu mau khan dek?" begitu suara Tante Pitoyo aku dengar menanyakan ke mama.  Iya, mamaku paling muda diantara mereka.

"Iya, kita makan mie dan jalan-jalan saja nanti.  Nggak usah belanja-belanja baju.  Lagian mana bisa kita pakai.  Aku keburu capek nyoba-nyoba baju, dan kamu pakai penyangga badan, pasti ribet.  Nah adek ini di kursi roda," sambung Tante Tumilar yang kemudian diikuti tawa mereka bertiga meriah sekali. 

"Hahahha...iya, kita cuci mata sajalah.  Kalau untuk belanja baju manalah mungkin, karena memakainya saja sudah tidak bisa.  Jadi dilihat pun cukuplah sudah."  Aahh...kataku dalam hati betapa mereka mampu mensyukuri apapun kondisi yang Tuhan ijinkan hadir dalam hidup mereka.

"Des..Des..mama pergi yah," suara mama pamit.  Bergegas aku keluar dan tak lupa menyalami kedua tante sahabat mama.

"Kami pinjam mamamu yah sayang, "begitu ujar mereka.  Sesak nafasku, sementara disudut mata ini airmata berat kutahan agar tak jatuh.  Kedua tante perlahan mendorong kursi roda mama.  Ijinkan kami menjadi muda dan menjadi diri kami sebentar, demikian kedua tante meminta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun