Terlihat olehku dengan sebisanya, mengenakan penyangga badan Tante Pitoyo mendorong kursi roda mama, pun demikian dengan Tante Tumilar disisi sampingnya.
Hari itu menjadi hari pertama dan terakhir sejak mereka terpisah 30 tahun lamanya. Â Menghabiskan seharian waktu bersama hingga gelap saat keduanya mengantar mamaku pulang. Â Sebelum berpisah ketiganya kulihat saling mengecup kening. Â "Jaga kesehatan, aku sayang kamu dan sampai waktunya nanti yah. Â Jika ini jadi pertemuan terakhir kita, saling maafkan yah kalau nanti enggak bisa datang jika satu diantara kita dipanggil," demikian mereka saling menguatkan.
Keesokkan harinya sebuah pohon jeruk nipis diantarkan ke rumah kami. Â Pohon yang kemudian menjadi obat rindu mama. Â Setiap sore pohon itu selalu disiraminya, seolah menyapa kedua sahabatnya.
Tetapi kehendak Tuhan siapa yang tahu, 6 bulan kemudian Tante Tumilar berpulang. Â Hancur hati dan dengan mata berkaca-kaca diteleponnya Tante Pitoyo untuk mengabarkan berita duka ini.
Mencoba menyembunyikan luka, mama ke teras rumah memandangi pohon jeruk nipisnya. Â Pohon yang diperolehnya sehari setelah mereka menghabiskan kebersamaan. Â Didalam hati, aku berharap andai aku bisa menghapus kehilangan itu ma, pasti sudah aku lakukan.
Hari-hari kemudian menjadi milik mama dan Tante Pitoyo. Â Keduanya saling bertukar kabar, dan bahkan saling berkirim makanan. Â Hingga kemudian semua harus berakhir. Â Sebuah telepon mengabarkan Tante Pitoyo sudah koma 3 hari.
"Maafkan ibu saya tante, ijinkan ibu pulang," demikian suara di speaker telepon aku dengar. Â Masih sempat si penelpon menawarkan apakah mama mau berbicara dengan ibunya. Â Halus mama menjawab,"Tidak usah, bisikan saja pergilah kak, aku sudah tahu. Â Aku sayang kakak", pesan mama.
Sore itu Tante Pitoyo berangkat menghadap Tuhan, dan mama kembali memandangi pohon jeruk nipis persahabatan mereka. Â "Tante Pitoyo sudah 3 hari koma, kasihan dia sudah capek 30 tahun menderita kanker. Â Biarlah dia pergi, biar mama yang merawat pohon nipis mereka," begitu ujarnya pelan menyembunyikan kesedihan yang aku tahu sangat.
Dua tahun sudah mama ditinggal dua sahabatnya. Â Persahabatan yang terjalin sejak mereka belia. Â Bahkan waktu 35 tahun pun tak bisa memisahkan. Â Kecuali maut, ketika Tuhan memanggil untuk berpulang ke rumahNya.
Tulisan ini untuk mengenang kedua tante sahabat mamaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H