sahabat-sahabatnya dulu ketika mereka masih belia. Â Saat mereka masih menyandang nama besar suami yang telah mendahului mereka.
Sore itu mama terlihat bahagia sekali. Â Lebih 35 tahun dirinya menunggu untuk kembali bertemuBerdandan cantik mama menunggu diatas kursi rodanya di teras rumah kami. Â Sangat terlihat tak sabar untuk menumpahkan rindu yang dipendamnya selama ini. Â "Duh...kok mereka lama sekali yah. Â Jangan-jangan mereka kesasar," gumamnya seorang diri.
Tak lama aku melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah kami. Â Tampak olehku yang mengintip dari dalam, dua perempuan renta turun dari mobil itu. Â Keduanya masih menyisakan kecantikan mereka. Â Iya, mereka Tante Tumilar dan Tante Pitoyo. Â Ingatanku kembali melayang saat diriku masih kecil sering bertemu dengan mereka.
Katakan aku cengeng dan lembek, tetapi tidak untuk tiga sahabat hebat ini. Â Suara ramai itupun terdengar hingga ruang tamu kami. Berbeda dengan dulu, saat mereka muda. Â Aku mendengar kini ketiganya berlomba mempertontonkan kondisi kesehatannya. Â Lalu memamerkan daftar obat dan dokter jagoannya.
Tidak sedikitpun mereka terusik dengan kenyataan hidupnya sekarang. Â Ketika itu Tante Tumilar sudah 25 tahun menderita kanker payudara yg kemudian menyebar ke paru-paru. Â Tante Pitoyo, 30 tahun menderita kanker pencernaan yang kemudian menyebar ke organ lainnya hingga mengharuskannya memakai alat penyangga badan. Â Sedangkan mamaku stroke dan lumpuh lebih dari 18 tahun.
Mataku mulai basah haru, tetapi tidak untuk mereka. Â Kebahagiaan itu jelas terasa lewat tawa lepas, meski dalam sakit dan keterbatasan. Â Tiga sahabat yang hanyut dalam sukacita yg luarbiasa. Â Bak gadis ABG mereka berunding mau jalan kemana enaknya.Â
"Kita makan saja yuk, makan mie di Pondok Indah. Â Kamu mau khan dek?" begitu suara Tante Pitoyo aku dengar menanyakan ke mama. Â Iya, mamaku paling muda diantara mereka.
"Iya, kita makan mie dan jalan-jalan saja nanti. Â Nggak usah belanja-belanja baju. Â Lagian mana bisa kita pakai. Â Aku keburu capek nyoba-nyoba baju, dan kamu pakai penyangga badan, pasti ribet. Â Nah adek ini di kursi roda," sambung Tante Tumilar yang kemudian diikuti tawa mereka bertiga meriah sekali.Â
"Hahahha...iya, kita cuci mata sajalah. Â Kalau untuk belanja baju manalah mungkin, karena memakainya saja sudah tidak bisa. Â Jadi dilihat pun cukuplah sudah." Â Aahh...kataku dalam hati betapa mereka mampu mensyukuri apapun kondisi yang Tuhan ijinkan hadir dalam hidup mereka.
"Des..Des..mama pergi yah," suara mama pamit. Â Bergegas aku keluar dan tak lupa menyalami kedua tante sahabat mama.
"Kami pinjam mamamu yah sayang, "begitu ujar mereka. Â Sesak nafasku, sementara disudut mata ini airmata berat kutahan agar tak jatuh. Â Kedua tante perlahan mendorong kursi roda mama. Â Ijinkan kami menjadi muda dan menjadi diri kami sebentar, demikian kedua tante meminta.