Didalam hal ini penulis melawan arus, dan mendukung pilkada serentak tetap berlangsung pada 9 Desember 2020. Maaf, ini bukan karena tidak peduli dengan kemungkinan terburuk Pilkada di masa Covid.Â
Tetapi menurut penulis kita tidak bisa berlarut-larut hanyut dalam propaganda Covid. Benar kita masih berperang melawan Covid, bahwa peperangan itu belum selesai. Tetapi tidak berarti kehidupan kita jadi terhenti karena Covid. Termasuk juga dalam hal ini dengan penyelenggaraan pilkada.
Mengenai Covid, entah disadari atau tidak, kita ini seperti terhipnotis lebih penasaran melihat pada angka kematian. Mengapa tidak mencoba melihat perbandingan jumlah kasus, kematian dan angka kesembuhan? Rasanya lebih adil agar kita mendapatkan pandangan lebih obyektif dan bisa lebih optimis.
Intinya, selagi kita masih hidup, mengapa tidak mencoba mensyukuri kehidupan yang kita miliki, dan jangan paranoid dengan kematian. Toh, sejak Maret hingga detik ini secara aktif pemerintah terus mendidik dan mendisplinkan rakyat Indonesia mengenai Covid dan protokol kesehatan.
Sebagai informasi saja per Selasa 22 September kenaikan angka kesembuhan pasien Covid tertinggi terjadi di DKI Jakarta, disusul Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Kepulauan Riau. Artinya, kita harus belajar optimis, dan jangan terpaku dengan kehilangan.
Bahkan total kondisi kasus Covid di Indonesia per artikel ini diturunkan, terdapat 257.388 kasus, 187.958 sembuh, dan 9.977 meninggal. Artinya sekarang angka kesembuhan lebih tinggi dari kematian. Inilah yang mirisnya membutakan masyarakat kita sehingga paranoid.
Terlepas dari hanyutnya kita dalam propaganda Covid, harusnya kita paham bahwa sebagai kepala negara Presiden Joko Widodo tidak akan sembarangan mengambil keputusan. Keputusannya tetap mendengar berbagai masukan dan dengan pertimbangan masak.Â
Meskipun suara keberatan memang terdengar datang dari PBNU dan Muhammadiyah yang sudah berkirim surat meminta pertimbangan penundaan pilkada. Tetapi, ada pertimbangan mendasar Presiden yang menjadi alasan kenapa pilkada tetap berlangsung, yaitu:
- Menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih dalam suatu agenda yang telah diatur dalam UU dan berbagai aturan perundang-undangan.
- Tidak ada kepastian kapan Covid berakhir, karena tidak ada satu pun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan Covid-19 berakhir.Â
- Pemerintah tidak ingin terjadinya kepemimpinan di daerah dilaksanakan oleh pelaksana tugas (plt) pada 270 daerah dalam waktu bersamaan karena ditundanya pilkada.
Sekarang mari kita melihat contoh negara lain yang tetap menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi, Amerika, negara yang mengalami serangan Covid lebih besar sekalipun, pemilu tidak ditunda. Demikian juga Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan juga menggelar Pemilihan Umum di masa pandemi
Penulis yakin, Presiden Jokowi sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan. Mungkin kita masih ingat ketika Jokowi mengizinkan rakyatnya pulang kampung, tetapi melarang mudik. Bingung memang karena kedua kata tersebut serupa tapi tak sama.