Pernah mendengar istilah zaman now, or zaman kekinian?  Istilah ini pas dan cocok banget untuk orangtua di era 4G yang dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam mendidik. Jujur ngakak dan ngenes banget masih menemui orangtua yang bangga dengan kata-kata, "Papa/ Mama dulu belajar sendiri.Â
 Eyangmu nggak ikut-ikutan belajar.  Lha, kamu ini sekarang ngerepotin, manja."  Wkwk... maaf, kira-kira yang bicara ini hidup di zaman kapan?  Jangan lupa, sekarang sudah tahun 2020, jadi nggak bangetlah membandingkan tahun jebot dengan masa sekarang. Konyolnya lagi, ucapan seperti ini lumayan banyak dinyanyikan orangtua di perkotaan, ketimbang di desa.
Kenapa konyol, karena jika di desa atau pedalaman taruhlah karena segala keterbatasannya menjadikan mereka sulit ikutan mengajari anaknya belajar, apalagi saat PJJ sekarang ini. Â Tetapi, kalau orangtua di kota mengatakan hal ini, itu sih namanya jaim alias jaga image tidak mau terlihat "ketidaktahuannya", gaptek (gagal tekhnologi) atau terparahnya "gila" hormat. Â Apalagi jika ini orangtua yang datang dari latar belakang pendidikan menengah ke atas.
Membahas gaptek, mungkin agak bisa dimaklumi karena tidak semua orangtua dalam pekerjaannya melibatkan komputer. Â Tetapi, paling tidak menggunakan gadget sudah bukan hal baru. Â
Nah yang jadi persoalan adalah "gila" hormat, tidak mau ngaku didepan anaknya kalau tidak bisa, atau bisa juga karena merasa tidak pantas ikutan belajar bareng anak. Â "Saya ini orangtua yang cari uang. Â Kok saya disuruh nemenin anak belajar, itu khan tugas gurunya," kira-kira begitulah komentar yang sering terdengar. Heheh... mungkin orangtua ini lupa, kalau ini anaknya, dan bukan anak bapak atau ibu guru.
Sedikit melenceng, kata orang pengalaman adalah guru terbaik. Â Ungkapan inilah yang membuat penulis ingin lebih baik dari kedua orangtua penulis. Â Bertumbuh dan besar sebagai anak yang kedua orangtua sibuk, membuat penulis seperti layang-layang putus. Â Bayangkan untuk mengambil raport saja, mama dan papa ketika itu tidak sempat. Â Sehingga setiap urusan sekolah diwakilkan anak buah papa, atau bahkan pernah raport diambil oleh supir dengan berbekal secarik surat sakti papa.
Kesibukan sebagai pejabat daerah membuat semua terjadi. Â Sehingga dalam hal belajar penulis harus mandiri. Â Hanya bergereja saja kami selalu bersama. Â Nilai moral, kebebasan yang bertanggungjawab dan takut akan Tuhan membuat penulis tidak mau mengecewakan orangtua. Sehingga walau belajar sendirian, tetapi predikat juara kelas dan sederet prestasi berhasil diraih.
Pengalaman inilah yang membuat penulis tidak ingin mengulangnya lagi saat sudah memiliki keluarga. Â Rasa kesepian dan perasaan dibiarkan itu tidak enak banget. Â
Apalagi kondisi sekarang jelas berbeda, karena setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Â Ambil contoh, dulu tugas klipping cukup mengambil dari koran yang digunting lalu tempel. Â Tetapi sekarang, tugas-tugas sekolah kebanyakan diambil dari internet, alias browsing. Disinilah seramnya, keberadaan internet membuat dunia ada di genggaman, bisa mencerdaskan, dan bisa juga menjerumuskan. Ketebak dong, kalau orangtua tidak mendampingi, tidak mengikuti perkembangan zaman maka ujungnya hanya jadi bulan-bulanan bocah, dikadalin!
Buang jauh-jauh pikiran mendidik tangan besi mirip pemerintahan Korea Utara. Â Hahah....karena yang terjadi adalah si anak akan berpikir seribu macam cara untuk lebih curang atau jahat. Â Terparahnya lagi, kita akan "kehilangan" karena anak mengambil jarak. Â Malaslah dirinya dimarahi dan disudutkan terus. Â Tempatkan saja diri kita, apakah mau disalahi terus? Â Sementara si anak butuh bantuan, tetapi kita justru mencampakkannya. Â Logikanya itu dimana?
Sibuk, dan capek? Â Maaf, sibuk dan capek itu kenyataan yang sama nyatanya bahwa anak adalah tanggungjawab bapak dan ibunya. Â Harus diingat, bahwa kehadirannya bukan atas kehendaknya. Â Tetapi cinta kasih orangtuanyalah yang menjadi alasan kelahirannya. Â Harusnya inilah juga alasan kuat untuk membesarkan dan mendampinginya semaksimal mungkin.