Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Indonesia

11 Agustus 2020   01:27 Diperbarui: 11 Agustus 2020   01:17 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah sepenggal cerita jadulku di tahun 1994 saat menempuh pendidikan di negeri orang, tepatnya Melbourne, Australia.  Terus terang saja, ada kebanggaan bagiku bisa bersekolah di luar negeri.  Heheh...norak yah, kok mikir bangganya ketimbang fokus ilmunya.  Tetapi itulah adanya.

Percayalah, apa yang aku alami kebanggaan itu tidak lama karena segera berganti rindu yang sangat.  Terparah aku begitu merindukan masakan Indonesia yang pedasnya nampol nggak bikin jera.  Aku juga merindukan panasnya matahari, dan gokilnya aku merindukan ngantri!  Hahah...ketika itu aku merasa hidupku di negeri orang kurang tantangan karena semua serba teratur.  Koplak memang aku ini, tetapi sungguh aku rindukan itu semua. Aku merindukan dinamika orang Indonesia yang ngeyel dan sotoy.

Selain kerinduan yang nganehin itu, ada satu rasa yang muncul entah kenapa.  Aku mendadak nasionalis!  Selalu dengan bangga setiap kali orang bertanya," Excuse me, are you Filipino?  Lalu dengan cepat dan mantap aku menjawab, "No, I am Indonesian."

Pertanyaan-pertanyaan ini kerap kali aku terima, dan menjawabnya "saya Indonesia" adalah kebanggaan yang sangat berarti bagiku.  Termasuk ketika diminta menunjukkan kebolehan, maka pamer aku tunjukkan bagaimana cara membuat sarang ketupat yang materialnya aku menggunakan pita kado.  Pun gemulai aku tunjukkan kesaktianku menari Bali yang aku pelajari sejak umur 6 tahun.  Hahah...orang tuaku memang ekstrem, mereka memasukkanku ke sanggar tari bali sejak usiaku sangat muda.

Tari Balilah yang kemudian mengantarkanku menjadi penari tetap di Konsulat Jenderal Australia.  Hebatnya lagi, selain menyambi kerja cuci piring di restaurant, kemampuanku menari beberapa tari tradisional cukup membantuku menambah uang saku.  Heheh...kebetulan dulu orang tuaku dinasnya pindah-pindah, sehingga membuatku mengenal banyak budaya dan tari tradisional.  Inilah yang menjadi malaikat penyelamatku di negeri orang.  Kuliah sambil kerja, dan jadi penari juga, sembari menceritakan kepada bule-bule Australia itu makna tarian yang aku bawakan.

Tetapi satu yang membuat airmataku sulit dibendung adalah saat aku diminta mengisi acara Fifty Years Indonesia Independence Day.  Dipercaya sebagai penari pembuka tunggal membawakan tarian Bali rasanya sangat berbeda.  Padahal tarian itu sering aku bawakan, tetapi dipercaya menarikannya di Perayaan 50 tahun Indonesia Merdeka di Melbourne ternyata sanggup membuat diriku merinding haru. 

Hingga akhirnya tumpah juga airmataku bak waduk jebol saat bersama teman-teman pelajar lainnya kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan Rayuan Pulau Kelapa serta melihat Bendera Merah Putih itu dibentangkan.  Sulit menggambarkan bagaimana kerinduan dan kecintaan terhadap tanah air ternyata menyiksa kami.

Teringat perbincangan diantara kami ketika itu,"Gile, bisa-bisanya gue nangis.  Ternyata asli, gue cinta banget Indonesia.  Perasaan waktu di Indo biasa-biasa aja, tetapi sumpah nyatanya gue nangis bombay sekarang."  Hahah...konyol memang, karena kami menemukan cinta itu di negeri orang.

Penulis memang memutuskan kembali ke di Indonesia.  Teramat sedih saat ini melihat negeriku yang di usianya ke 75 masih mengurusi agama dan etnis.  Hal-hal yang tidak seharusnya lagi diperdebatkan.  Para pendahulu negeri ini dulu bersatu merebut kemerdekaan tanpa peduli apapun agama mereka, dan etnisnya.  Bagi mereka NKRI adalah harga mati!  Lalu kenapa setelah darah mereka membasahi pertiwi ini, kita justru meributkan hal-hal receh?  Harusnya, sudah banyak yang bisa kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan ini.  Lihat tetangga kita Singapura!  Negerinya lebih kecil, tanpa potensi alam dan juga beragam agama dan etnisnya tetapi justru bisa maju pesat dan solid!  Kemana dan ngapain saja kita selama ini, padahal kita dikarunia negeri yang kaya dalam segalanya!

Inilah potret nyata, benar kita sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945, tetapi belum merdeka dari kebodohan.  Inilah yang menjadi peperangan saya, kamu dan kalian semua yang mencintai negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun