Teringat cerita cinta alamarhum bapak yang meninggalkan kami 5 tahun lalu. Â Lelaki yang mengajari aku apa artinya cinta sejati. Â Dulu katanya, bapak tak mengenal wanita. Â Mama adalah cinta pertamanya, dan hanya sepucuk surat yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka berdua, Pontianak dan Medan.
Nyesek, saat ini cinta kehilangan arti. Â Begitu mudah untuk jatuh cinta, semudah untuk melupakan arti cinta dan mencinta.
Cerita ku tentang 5 tahun yang lalu, saat bapak memanggilku.
"Des, bapak mau kasih kejutan. Â Bulan Maret ulangtahun perkawinan bapak dan mamamu yang ke 50 tahun. Â Bapak mau berterima kasih karena diizinkan bertemu mamamu, separoh jiwa bapak. Â Kita bikin ucapan syukur dan makan enak yuk," begitu kata bapak bersemangat.
Sayang cerita kemudian berubah saat bapak harus dirawat di rumah sakit. Â Terbaring dengan infus, selang-selang berseliweran, berteman dinding rumah sakit, tanpa mama disampingnya. Â Hanya diam dan sesekali menatap jauh keluar jendela kamarnya. Â Seolah ada yang menantinya disana.
"Bapak lihat apa?" kataku bertanya. Â Tetapi tak pernah aku mendapatkan jawaban darinya, kecuali airmata dari sudut mata tuanya.
Seminggu berlalu, dengan berat hati, aku membawa mama menemui bapak di rumah sakit. Â Ku dorong kursi roda mama, mengangkat tubuh lumpuhnya karena stroke sejak 20 tahun lalu.
Bapaklah yang selama ini menjaga mama. Â Menyendokkan nasi pada piring makan mama, menjadi teman bercerita dari pagi hingga gelapnya malam, dan berbagi potongan roti setiap pagi hari. Â Mesra, mesra sekali kedua orang tuaku.
Airmataku menetes, saat mama meraih tangan bapak. Â Keduanya saling menatap dengan mata basah tanpa suara.
"Bapak, bapak cepat sembuh yah. Â Dua minggu lagi ulang tahun perkawinan kita pak," begitu suara mama terbata akhirnya. Â Tetapi bapak hanya diam, diam dan diam sambil menatap mama, lalu mengalihkan kembali pandangannya jauh lewati jendela itu.