Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernikahan Bukan Alat Pelunas Utang

26 Juli 2020   23:25 Diperbarui: 26 Juli 2020   23:22 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada yang salah dari bertemu belahan jiwa, menikah dan kemudian membentuk rumah tangga. Bahkan agama pun menganjurkannya agar kelak kita bisa mempunyai keluarga, dalam arti mempunyai keturunan.

Tetapi menjadi tidak tepat dan sangat salah jika pernikahan itu sendiri diawali oleh langkah yang salah. Bingung yah, maksudnya apa sih?

Penulis kali ini mencoba mengangkat fakta pelecehan seksual terhadap anak bisa dalam banyak hal. Termasuk pernikahan muda, pernikahan dipaksakan ataupun pernikahan sebagai alat pelunas hutang.

Tetapi sebelumnya inilah yang harus disepakati dalam pernikahan terlebih dahulu demi menghindari pelecehan atau juga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) nantinya. Bahwa harus dipahami arti pernikahan sejatinya:

  • Harus antara perempuan dan laki-laki, dari sini kita telah melihat bawah pernikahan sudah diawali dengan perbedaan yang tujuannya untuk saling melengkapi nantinya. Pun, ini jelas sesuai dengan ajaran agama.
  • Umur pasangan sudah cukup, bahwa negara mengatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Tetapi, disarankan untuk tidak menikah dibawah usia 22 tahun, dengan tujuan agar kedua pasangan sudah dewasa dalam berpikir dan bersikap.
  • Pernikahan dilandasi cinta, atau keputusan kedua pasangan, karena di negeri ini banyak kasus pernikahan dengan berbagai alasan yang kadang sulit diterima logika. Beberapa contoh kasus misalnya karena "kecelakaan" alias pergaulan bebas, dan mengakibatkan"married by accident" demi menyelamatkan nama baik, atau ada juga pernikahan karena faktor agama, dan yang termasuk miris adalah pernikahan demi melunasi hutang orang tua.

Pada tulisan kali ini penulis ingin menyoroti fakta kemiskinan dan budaya menjadi alasan kuat praktik-praktik seperti ini masih saja terjadi di Indonesia, terutama di pedalaman. 

Ada anggapan jika sudah berumur 18 tahun dan belum menikah dianggap perawan tua. Label negatif yang sangat dihindari baik oleh si anak, maupun orang tuanya. Termasuk juga anggapan anak perempuan adalah asset bernilai ekonomis yang bisa berfungsi sebagai alat pembayaran nantinya.

Sulit dipercayai, tetapi kondisi ini nyata terjadi masih ada orang tua tega menyodorkan anak gadisnya demi membebaskan diri dari lilitan hutang.

Media pernah mencatat satu kejadian anak dibawah umur berusia 15 tahun dinikahkan oleh orang tuanya dengan pria berusia 37 tahun. Lelaki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Lengkap penderitaan si anak karena pria ini pun sudah beristri.

Singkat cerita semua menjadi drama airmata yang berujung hukum. Sementara orang tuanya bebas merdeka dari lilitan hutang yang sebenarnya akibat ulah mereka sendiri, gila judi.

Sudah bisa dibayangkan bagaimana pernikahan bisa berjalan baik jika diawali dengan sebuah keterpaksaan, apalagi terdapat perbedaan usia yang kelewat jauh. Bahkan secara hukum saja ini bertentangan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan, dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun