Hari ini Rabu 15 Juli 2020 memasuki hari ke-3 Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) begitu bahasa kekiniannya. Â Memang tidak ada pilihan bagi Jakarta khususnya yang masih zona merah membara. Â Tetapi, ketidakadaan pilihan ini nampaknya menjadi palu godam bagi sebagian pelajar. Â Tepatnya ini jeritan, tangis, amarah dan kekesalan yang entah kepada siapa harus disampaikan. Â Ini bukan ngarang, karena inilah yang dialami putri penulis memasuki kelas XI di salah satu SMA Negeri.
Mari kita ulas satu persatu "kekonyolan" PJJ, yang langsung merusak selera belajar anak-anak:
Ketidaksiapan link
Inilah yang terjadi ketika sekolah tidak siap dengan perubahan cara belajar bertekhnologi. Â Ngeri karena link belajar virtual baru dibagi pada pagi hari oleh wali kelas. Â Padahal jadwal belajar sudah pasti dimulai pada Senin 13 Juli. Â Logikanya kenapa tidak langsung saja diberikan 3 hari sebelumnya misalnya. Â Toh nantinya link baru bisa di klik atau aktif pada jam yang sudah disepakati.
Ketidaksiapan infrastruktur
Terbukti anak-anak sulit mengakses link yang diberikan, kenapa? Â Karena pihak sekolah sebagai penyelenggara tidak memikirkan caranya sejumlah anak masuk link bersamaan. Â Bayangkan jika anak kelas XI terdiri dari 4 kelas dengan jumlah anak 36 per kelas. Â Artinya ada 144 anak masuk bersamaan berjejalan di link? Â Ehhmm...inilah yang terjadi karena kuota terbatas, dan ujungnya ada anak yang tidak bisa mengikuti PJJ. Â Itu baru bicara kelas XI, lalu bagaimana dengan kelas X dan XII jika ini jenjang SMA. Â Apalagi SD yang dari kelas 1 hingga 6?
Ketidaksiapan pengajar
Terbukti ada kejadian guru bahkan lupa jadwalnya mengajar. Â Miris, karena murid saja ingat jam berikutnya materi apa. Â Sementara guru yang harusnya memberikan contoh justru lupa hari tersebut memiliki kelas virtual. Â Pertanyaannya, kok bisa lupa? Â Memangnya guru bersangkutan mengajar dibanyak sekolah sampai lupa jadwal?
Kuota internet mencekik dan prasarana
Bagi mereka yang memiliki fasilitas internet di rumah kuota atau pulsa bukan masalah. Â Tetapi, bayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak. Â Bayangkan apa yang terjadi dengan anak pemegang KJP. Â Ok, ada Dana Bos sebagai solusi? Â Faktanya tidak demikian di lapangan, karena ada pemotongan disana sini. Â
Seleksi pantas tidak pantas siapa yang berhak. Â Padahal Mendikbud jelas mengatakan Dana Bos diperuntukan juga untuk mengatasi masalah pulsa, tetapi fakta di lapangan beda langit dan bumi. Â Termasuk ketersediaan laptop yang faktanya "prioritas" justru untuk tenaga pengajar. Â Lalu bagaimana dengan anak yang tidak memiliki? Â Padahal kembali Dana Bos mengatakan ini sudah disiapkan. Â Disiapkan untuk siapa, itulah pertanyaannya juga.
Bobot materi pelajaran
Ini gongnya, karena belajar tatap muka saja belum tentu dimengerti anak. Â Apalagi dengan PJJ dan sejumlah "penyakitnya" yang akibatnya anaklah yang dirugikan. Â Sebagai contoh, ketika anak mengalami kesulitan masuk link, tetapi ada guru yang menyingkapi seakan anak tidak serius. Â Lalu memberikan tugas dari materi yang baru diajarkannya. Â Ini lucu, karena bagaimana anak bisa mengerjakan, sementara mereka mengalami kesulitan mengakses. Â Akhirnya, anak-anak harus mencari sendiri jawaban untuk menyelesaikan tugasnya. Â Apakah ini adil?
Jujur inilah jeritan penulis sebagai orang tua. Â Melihat anak berusaha habis-habisan mengikuti PJJ tetapi mentok karena link. Â Campur aduk perasaan ini saat melihat sahabat-sahabat putri penulis seolah patah arang menjalani PJJ karena merasa disudutkan dalam banyak hal. Â Mencoba mengadukan hal ini kepada sekolah, namun setali tiga uang sekolah pun sama masih belajar menyesuaikan diri belajar dengan teknologi.
Mengerti, tidak semua tenaga pengajar melek tekhnologi, dan Covid memaksa semua mendadak harus pintar. Â Semua harus tanggap dan cepat mengejar ketertinggalan. Â Termasuk juga ketidaksiapan pengajar dengan gadget canggih hingga akhirnya laptop jadi bahan rebutan.