Mohon tunggu...
Deswita KhairinaBudi
Deswita KhairinaBudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

Menulis dengan bergaya politik, tertarik dengan isu-isu kebijakan pemerintahan luar negeri dan hubungan antar negara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme Postmodern dan Peran Artis K-pop dalam Pemberdayaan Perempuan di Korea Selatan

16 Oktober 2024   06:35 Diperbarui: 16 Oktober 2024   08:00 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest, Jenniepics

Masalah Kekerasan Seksual di Korea Selatan

Kekerasan seksual di Korea Selatan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual berbasis dunia maya. Salah satu bentuk kekerasan seksual yang berkembang pesat adalah penggunaan teknologi deepfake, yang secara tidak sah menggunakan citra perempuan dalam konten pornografi tanpa persetujuan mereka. Data menunjukkan peningkatan signifikan sejak tahun 2018, dimana kasus kekerasan seksual online telah melonjak 11 kali lipat. Pada tahun 2020 saja, dari 793 kasus yang dilaporkan, hanya 16 pelaku yang berhasil ditangkap, menunjukkan ketidakmampuan sistem hukum untuk mengimbangi perkembangan teknologi yang disalahgunakan untuk tujuan kekerasan seksual.

Tidak hanya kekerasan seksual di dunia maya yang menjadi perhatian, tetapi juga angka kekerasan seksual secara keseluruhan yang terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Menurut data dari Korea Women's Development Institute (KDWI), angka kasus kekerasan seksual di Korea meningkat setiap tahun. Pada tahun 2012, tercatat ada 21.346 kasus kekerasan seksual, dan angka ini mencapai puncaknya pada tahun 2015 dengan 31.663 kasus. Angka-angka ini menempatkan Korea Selatan sebagai salah satu negara dengan tingkat kekerasan seksual tertinggi di dunia.

Fakta ini sangat mengkhawatirkan, mengingat Korea Selatan adalah salah satu negara yang terlihat maju secara ekonomi dan teknologi. Namun, dibalik itu, kekerasan berbasis gender masih sangat merajalela. Kekerasan seksual tidak hanya merusak fisik dan psikologis korban, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan sistemik dan struktur sosial yang telah lama menindas perempuan.

Budaya Patriarki dan Pengaruh Konfusianisme

Salah satu penyebab utama dari tingginya tingkat kekerasan seksual di Korea Selatan adalah budaya patriarki yang kuat dan mengakar dalam masyarakat. Akar dari patriarki ini sudah ada sejak Korea masih berbentuk kerajaan dan sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Korea ini menekankan pada struktur hierarkis yang menempatkan laki-laki diatas perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial.

Dalam ajaran Konfusianisme, perempuan diharuskan untuk selalu tunduk dan patuh kepada laki-laki, baik itu kepada ayah, suami, maupun anak laki-lakinya setelah ia menikah. Perempuan dianggap sebagai "golongan kedua", di mana hak-hak mereka dibatasi oleh status dan peran gender. Konfusianisme memberikan sedikit ruang bagi perempuan untuk mengembangkan kemandirian atau untuk melawan kekuasaan laki-laki. Dalam masyarakat yang masih memegang teguh ajaran ini, perempuan tidak hanya dikekang secara sosial, tetapi juga menjadi korban ujaran kebencian dan kekerasan jika mereka melanggar peran tradisional yang telah ditetapkan.

Akibat dari budaya patriarki yang mendalam ini, diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia kerja. Perempuan sering kali dipandang sebagai simbol seksualitas semata, yang menambah risiko mereka menjadi target kekerasan seksual, baik di ruang fisik maupun di dunia maya. Tekanan sosial ini menciptakan beban yang sangat berat bagi perempuan Korea hingga hari ini.

Feminisme Postmodern, Alat Dekonstruksi Narasi Patriarki

Dari perspektif feminisme postmodern, upaya untuk memberdayakan perempuan melalui perlawanan terhadap patriarki di Korea Selatan dapat dilihat sebagai dekonstruksi terhadap narasi tradisional tentang gender dan peran perempuan. Feminisme postmodern menolak pandangan bahwa perempuan memiliki satu identitas yang tetap dan seragam. Sebaliknya, feminisme ini menekankan keragaman pengalaman, identitas, dan ekspresi yang berbeda-beda di antara perempuan.

Feminisme postmodern juga mengkritik norma-norma tradisional yang memisahkan peran perempuan dan laki-laki, serta bagaimana masyarakat memandang seksualitas perempuan. Dalam konteks Korea Selatan, artis-artis K-pop perempuan memainkan peran penting dalam upaya ini. Melalui musik dan penampilan mereka, artis K-pop perempuan tidak hanya mengekspresikan diri secara bebas, tetapi juga menentang norma-norma gender yang kaku.

Dekonstruksi Identitas Perempuan dan Fleksibilitas Gender

Salah satu contoh penting dari dekonstruksi identitas perempuan adalah artis Amber Liu dari grup f(x). Amber sering kali tampil dengan gaya androgini yang menantang batas-batas tradisional antara maskulinitas dan feminitas. Identitas Amber yang cair ini mencerminkan pandangan feminisme postmodern, di mana gender tidak dianggap sebagai esensi yang tetap, tetapi sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan dan dipertanyakan.

Feminisme postmodern memandang gender sebagai konstruksi sosial, bukan sesuatu yang bersifat alami atau biologis. Amber Liu menjadi representasi bagaimana identitas gender dapat diubah sesuai dengan konteks sosial dan pribadi seseorang. Di dalam masyarakat Korea yang masih sangat patriarkal, tindakan Amber untuk menolak konformitas gender tradisional memberikan contoh kuat tentang bagaimana perempuan dapat memberdayakan diri mereka dengan cara meruntuhkan narasi-narasi lama tentang gender.

Pengaburan antara Komersialisme dan Pemberdayaan

Feminisme postmodern juga sering mengkritik gagasan bahwa pemberdayaan perempuan harus sesuai dengan satu ideologi tertentu. Dalam konteks K-pop, artis seperti HyunA menggunakan sensualitas sebagai alat untuk mengontrol citra dirinya. Namun, representasi ini menimbulkan perdebatan, karena banyak yang melihatnya sebagai bentuk eksploitasi seksual oleh industri hiburan.

Grup K-pop seperti (G)I-DLE turut memainkan peran penting dalam memberdayakan perempuan dengan karya-karya mereka yang menentang norma tradisional. Dalam lagu seperti Tomboy dan NXDE, mereka dengan berani meruntuhkan stereotip perempuan yang pasif atau lemah dengan menampilkan sosok perempuan yang kuat, independen, dan berani melawan norma yang ada. Dari perspektif feminisme postmodern, yang menolak konsep identitas tunggal dan kaku. 

Dalam feminisme postmodern, tidak ada jawaban pasti apakah representasi HyunA dan  (G)I-DLE merupakan pemberdayaan atau komodifikasi. Feminisme ini menolak dikotomi antara pemberdayaan dan eksploitasi, serta menyoroti bagaimana tindakan tersebut memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks sosial dan komersial. HyunA, dalam pandangan ini, menggunakan seksualitas sebagai alat subversif untuk melawan norma-norma patriarki, tetapi di sisi lain, ia juga terjebak dalam industri yang sangat mengkomersialisasi tubuh perempuan.

Penolakan terhadap Narasi Tunggal tentang Kewanitaan

Feminisme postmodern menolak pandangan bahwa ada satu cara benar untuk menjadi perempuan. Di dunia K-pop, kita melihat berbagai bentuk pemberdayaan perempuan, mulai dari artis Hwasa yang menentang standar kecantikan tradisional hingga IU yang menampilkan sisi lembut dan anggun sebagai kekuatan perempuan. Kedua bentuk ini sama-sama valid dalam feminisme postmodern, yang menekankan pluralitas identitas.

Feminisme ini mengakui bahwa kekuatan dan pemberdayaan dapat muncul dari berbagai bentuk, termasuk kerentanan dan emosi. Dalam hal ini, artis seperti IU menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi kuat melalui ekspresi emosi mereka, menantang stereotip tradisional tentang kekuatan perempuan yang hanya berkaitan dengan ketangguhan fisik atau dominasi.

Pengaruh Media Sosial sebagai Realitas Terkonstruksi

Di era digital, media sosial menjadi ruang di mana identitas dan realitas terus dikonstruksi ulang. Artis-artis K-pop menggunakan media sosial untuk membangun narasi pemberdayaan perempuan, tetapi feminisme postmodern menyadari bahwa narasi ini sering kali terpengaruh oleh kekuatan komersial dan sosial yang lebih besar. Artis seperti Jennie atau Lisa dari BLACKPINK menggunakan media sosial untuk memperkuat citra mereka sebagai perempuan independen, selain itu mereka juga mempromosikan lagu mereka yang bertema pemberdayaan perempuan seperti Mantra by Jennie dan New Woman by Lisa di media sosial mereka. 

Feminisme postmodern melihat media sosial sebagai alat yang dapat mengkonstruksi dan merekonstruksi identitas dengan cara yang tidak sepenuhnya organik. Identitas yang ditampilkan di media sosial sering kali merupakan hasil interaksi antara harapan pribadi, tuntutan industri, dan ekspektasi global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun