Ada 2 bentuk penerapan komunikasi politik di Indonesia:
- melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap partai dan capres lain. Dalam konteks Indonesia, parpol yang pengurusnya tidak memiliki jaringana media—terutama televisi—secara sporadis diberitakan aib-aib politiknya, hingga nampak benar bahwa partai yang di-bully terlihat semakin ‘buruk’ di mata konsumen media. Padahal parpol yang di-backing jaringan media juga banyak memiliki aib-aib politik.
Hal ini memperkuat asumsi teori agenda setting media—oleh McCombs & Shaw—yang menyatakan, bahwa di antara berbagai topik (isu) yang dimuat media massa, topik (isu) yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi khalayaknya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik (isu) yang kurang mendapat perhatian media. (Sendjaya, Pradekso, dan Rahardjo, 2007)
Memang dalam kajian komunikasi massa, pengaruh eksposur berita kepada khalayak cenderung bersifat jangka pendek. Jika tidak diberitakan secara kontinyu, maka dikhawatirkan khalayak akan melupakan isu tersebut. Sehingga berita-berita aib parpol pesaing perlu diberitakan secara terus-menerus agar khalayak tetap ingat dan bila perlu, ‘termakan’ isu berita-berita secara sporadis tersebut.
Pendapat ini didukung oleh penelitian Norris dkk. (1999) mengenai Pemilu Inggris yang menunjukkan bahwa ekspose terhadap posisi partai yang terkandung dalam siaran berita dapat secara signifikan mempengaruhi sikap (khalayak) terhadap partai dalam jangka pendek (Mc.Quail, 2011).
- melakukan pencitraan yang berlebihan terhadap partai dan capresnya sendiri. Di Italia, pencitraan yang berlebihan melalui eksposur pesan yang bombastis atas ‘kebaikan’ Berlusconi dilakukan semua media di bawah jaringan Fininvest dan Mediaset. Malah program siaraninfotainment pun tidak luput dari kampanye terselubung sehingga melambungkan nama Silvio Berlusconi dan membawanya ke kursi perdana menteri pada 1994, kemudian terpilih kembali pada 2001 dan 2008 (Thussu, 2010).
Sejak jaringan media massa berdaya jangkau nasional Italia—seperti televisi—milik Berlusconi menjadi sarana komunikasi politik secara besar-besaran, opini publik—dari kalangan masyarakat awam—tentang politik seakan menjadi homogen (memandang Berlusconi sebagai calon pemimpin yang bagus), meskipun kelompok rasionalis—dari kalangan masyarakat terpelajar—tidak sejalan dengan opini tersebut. (Shin & Agnew, 2008).
Selain itu, dengan memerintahkan stasiun televisinya untuk memberikan eksposure pesan (kampanye terselubung) Forza Italia secara bombastis, menjadikan partai tersebut sebagai kekuatan baru pada Pemilu 1994. (Shin & Agnew, 2008).
Pengelola jaringan televisi membuat program siaran tidak hanya didasarkan pada keinginan penonton dan pengiklan saja, tetapi juga faktor lainnya, seperti politik. Padahal pembuatan program sesuai kepentingan (politik praktis) melahirkan masalah (pelanggaran) etika karena cenderung manipulatif, mencabut hak publik untuk mengetahui informasi yang sebenarnya, serta melahirkan self-censorship berlebihan (karena ketakutan) dari kru media dalam mengangkat tema kontroversial—yang tidak disukai pemilik media. (Peresbinossoff, 2008).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H