Seiring waktu... Arus informasi yang kelewat deras dan bombastis tak lagi berbungkus satir dalam santun, namun kian bombastis dan blak-blakan, kasar dalam memaksa menggiring opini publik.
Belum cukup, dosis ujian mental bakal ditambah ketika loper-loper opini di media sosial adalah individu yang kita kenal sendiri. Tes bagi tingkat kematangan individu, menjaga elastisnya tali silaturahmi di balik tajamnya silet pandangan pribadi.
Kala emosi terpancing, urusan pun jadi panjang. Debat kusir kebablasan antar kawan yang bukan tak mungkin sekedar berujung di tombol block atau unfriend. Selesai di dunia maya, putus pula tatap mata di dunia nyata.
Ketebalan perisai hati pun bolak-balik diuji kala membaca komentar-komentar miris dan miring yang mengekor di tiap opini. Kata-kata sumir, hujatan, makian terkesan mudah dilepas dan diobral cuma-cuma.
Eksperimen Sosial
Tanpa ambil pusing siapa nantinya pendulang suara terbanyak, euforia Pilpres atau Pilkada di negeri ini memang lebih menarik kala disimak sebagai sebuah eksperimen sosial.
Cepatnya perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi online seolah-olah turut menguak peta buta stereotip masyarakat Indonesia selama ini.
Dunia maya ibarat jebakan betmen. Seolah-olah memancing sisi terdalam tiap individu untuk secara tak sadar justru menunjukkan sifat aslinya. Potensi terdalam dari seseorang yang tak tampak di dunia, jadi terkuak di dunia maya. Sikap yang mungkin tak tampil kala tatap muka, justru tersirat di dunia maya.
Dalam eksperimen sosial Pilkada DKI 2017 ini, perbedaan pilihan menuntut tiap individu untuk bisa mengendalikan diri. Terlebih, hasrat bersuara dan berkomentar kian difasilitasi kemajuan zaman.
Berseloroh apa pun lewat ketikan jari memang menggoda. Namun, dunia maya jelas bukan ruang kosong walau terkesan “mati rasa”. Tak jarang kita temui, selorohan berujung tindakan hukum. Pelakunya? Biasanya tak sadar dampaknya akan sedemikian serius.
Lebih mencengangkan, membaca beragam komentar pedas yang lahir lebih karena sentimen sepihak atau faktor berseberangan. Lugas dicerna, seolah-olah pihak yang tak disukainya memang tak sedikit pun memiliki faktor positif atau hal yang baik selama ini. Tak lantas bergumam dalam hati, apakah dirinya sudah turut berprestasi nyata bagi bangsa ini dibanding individu yang dikritik?