Mohon tunggu...
Destri Mairoza
Destri Mairoza Mohon Tunggu... Guru - Starting Point in Writing

Nama lengkap Destri Mairoza dengan panggilan Roza, kelahiran Nagari Taruang-taruang pada tanggal 3 Mei 1987. Saat ini bekerja sebagai pengajar di SMAN 1 Bukit Sundi Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjalanan Si Tukang Beruk (Part 5)

24 Februari 2020   13:58 Diperbarui: 27 Februari 2020   18:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hari itu Ican dan Pak Kiraman naik kereta api menuju ke Padang Panjang dari stasiun Solok. Dia duduk di dekat jendela supaya bisa terus memandang ke luar. Luka kehilangan ibunya belum juga kunjung sembuh. Dalam hatinya pun dia masih berbisik, "Andai saja ibu ikut bersama ku naik kereta, melewati danau Singkarak yang terlihat begitu tenang. Andai saja ibu masih bersamaku, tentu ibu akan senang karena aku bisa terus lanjut bersekolah."

"Kenapa kamu, Can?" teguran Pak Kiraman membuyarkan lamunannya.

"Tidak ada, Pak. Saya hanya memandangi indahnya ciptaan Allah. Maklumlah, Pak, sudah sebesar ini baru sekarang saya keluar dari kampung. Wajarlah saya kagum." Jawab Ican sambil tersenyum berusaha menutupi sedihnya.

Sesampainya di tempat tujuan pada sore harinya, Pak Kiraman mengajak Ican ke sebuah rumah petak di dekat stasiun. Ternyata itu adalah rumah kawan beliau sewaktu sama-sama sekolah di sana. Bapak separuh baya itu memperkenalkan Ican kepada kawannya dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. 

Sambutan ramah Pak Rusdi, nama kawan Pak Kiraman, membuat tamunya merasa sangat nyaman. Setelah beristirahat sebentar mereka menuju ke sebuah surau untuk shalat berjamaah dan mereka juga bisa mandi di 'tapian aie' di surau itu. Mereka bersepakat bahwa akan melihat madrasah yang dijanjikan Pak Kiraman pada keesokan harinya.

Malam itu Ican, Pak Kiraman dan Pak Rusdi bermalam di surau karena kebetulan sedang ada acara ceramah agama dari ustadz kondang di sana. Ican bersemangat mengikuti kegiatan itu. Tak sia-sia rasanya dia datang kesana karena dia dapat melihat secara langsung ulama kondang berceramah yang selama ini suaranya hanya didengarnya lewat radio Uda Labay, penjaga surau di kampungnya. Kegiatan malam itu berlanjut dengan tanya jawab bersama jamaah. Ican terus menyimak dengan seksama. Rasa ingin tahunya telah mengalahkan kantuknya pada malam itu.

Subuh menjelang, Ican dibangunkan Pak Kiraman untuk shalat subuh berjamaah. Setelah itu mereka dijamu sarapan pagi dengan nasi putih dan gulai daun singkong yang dimasak Tek Numi, istri Pak Rusdi, di rumah petaknya.

"Ayo kita ke madrasah yang kita bicarakan kemarin." Ujar Pak Kiraman sambil beranjak dari tempat duduknya yang diikuti oleh Ican. Pak Rusdi memanggil Tek Numi untuk pamit ke luar, begitu juga Pak Kiraman dan Ican pun mengucapkan terima kasih.

Madrasah itu terbilang sudah cukup lama berdiri di Padang Panjang. Madrasah yang lebih dikenal dengan sebutan MAAIN (Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri) itu berdiri di lahan yang sangat luas. Ada belasan ruangan di madrasah itu. Sekolah berbasis agama Islam itu diminati bukan hanya oleh masyarakat Sumatera Barat tapi juga dari luar daerah. Setiap berpapasan dengan siswanya selalu disambut dengan salam dan senyum ramah. Sekolah itu juga sangat sejuk, selain karena memang cuaca disana yang sudah sejuk, beberapa pohon pinus juga menambah kesejukan dan keasriannya.

Seketika Ican merasa nyaman berada disana. Tak lagi terfikir olehnya angan-angan akan berangkat sekolah ke Mesir. Kalau di negeri sendiri ada sekolah bagus, kenapa harus pergi jauh dan meinggalkan kakak perempuannya serta Ayahnya yang semakin menua. Dia memantapkan hatinya, kalau pun dia tidak jadi ke Mesir, dia sudah punya pilihan sekolah yang juga bagus.

Siangnya Ican dan Pak Kiraman pamit untuk kembali ke Solok. Dengan menaiki kereta api, dia kembali melewati jalur yang kemaren dia lalui. Tak lagi ada sedih di wajahnya. Jalannya untuk memenuhi cita-cita dan harapan almarhumah ibunya sudah nampak di depan mata. Dia bisa saja menumpang sebentar di rumah Pak Rusdi sebelum dia bisa menemukan tempat kos yang sesuai baginya. Atau mungkin dia juga bisa menjadi penjaga surau di dekat madrasah itu. Untuk keperluan awal dia bisa menggunakan sisa tabungannya yang sudah dia kumpulkan selama menjadi tukang beruk. Dan keperluan lainnya? Ah, pasti ada jalannya karena Allah maha pemberi rezeki selama umatnya berusaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun