Mohon tunggu...
Destria Ray
Destria Ray Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jakarta, 3 Desember 1984. Tertarik dengan ilmu kejahatan sehingga sempat mencicipi dunia Kriminologi selama 4 tahun lebih. Beralih ke teorinya dunia wirausaha (Strategic Entrepreneurship). Tetapi masih penasaran dengan banyak hal.:::Bukan salah saya ketika saya ingin tahu segala hal. Namun itu adalah kesalahan saya ketika saya berhenti untuk mengetahui suatu hal:::Pencipta dan alam adalah dua hal yang menjelaskan tentang kehidupan::: Salam persahabatan :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

TENTRAM yang Kehilangan DAMAI

17 Juli 2010   11:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

TENTRAM diam di sudut kamarnya. Semenjak kehilangan DAMAI, TENTRAM berubah 180 derajat! "TENTRAM, itu di depan ada pak Kades ," kata Ibu TENTRAM yang ternyata sedari tadi sudah mengetuk PINTU kamar TENTRAM. "Gak mau, Bu. TENTRAM gak mau ketemu siapa-siapa." Ibu TENTRAM menggenggam tangan TENTRAM. "TENTRAM, jangan begitu nak. Pak Kades itu sepertinya orang baik. Dia butuh bantuan kamu. Mukanya seperti menyimpan jutaan ton masalah. Kamu harus bantu dia, nak." Kali ini ibu TENTRAM mengelus rambut dan wajah TENTRAM."Tidak! Dia cuman pura-pura! Sebentar lagi Ibu lihat sendiri. Dia pasti minta tolong sama tetangga sebelah." Bantah TENTRAM cukup sinis. Ibu TENTRAM meninggalkan kamar TENTRAM dan berjalan menuju pintu depan. Tak lama, Ibu TENTRAM kembali ke kamar TENTRAM. "Iya, TENTRAM. Dia ke tetangga sebelah. Ia menemui AMBISI," kali ini wajah TENTRAM yang datar sedari tadi berubah menjadi marah, sedih, cemas dan perlahan mengeluarkan air mata. "Ibu, TENTRAM capek, Bu. AMBISI selalu mengganggu hidup TENTRAM," dengan suara lirih. "Itu karena kamu membiarkan AMBISI merebut si pak Kades," ibu TENTRAM berpendapat. TENTRAM terdiam sesaat. "Ibu gak tahu. Semuanya selalu mencari TENTRAM. Tapi apa? Mereka hanya jadiin TENTRAM seperti boneka yang bertugas merebut hati warga untuk kepentingan mereka. Diam-diam mereka menjadikan AMBISI sebagai penasihat mereka. Ibu...TENTRAM juga kehilangan kekasih TENTRAM, DAMAI, karena AMBISI. AMBISI yang sudah menculik DAMAI dari TENTRAM, Bu. Tapi apa? Ada yang mau menolong TENTRAM dan keluarga DAMAI?" TENTRAM semakin histeris. Ya, semenjak kehilangan DAMAI, TENTRAM seperti orang yang kehilangan arah hidup dan selalu termenung. TENTRAM menjadi sangat asing di mata keluarga dan masyarakat desa. "Tapi TENTRAM, pak Kades itu dipaksa ke rumah AMBISI oleh beberapa orang. Pak Kades itu butuh kamu, nak. Dan ibu yakin, DAMAI masih hidup. Percaya ibu, nak. Perasaan perempuan tidak akan pernah salah walaupun itu bukan dari hasil pemikiran. Karena, perasaan itu berasal dari keyakinan.....TENTRAM, ibu kangen sama TENTRAM anak ibu yang dulu. Berubahlah, nak......." ibu TENTRAM memeluk anaknya erat-erat. Hangat...ya....pipi ibu TENTRAM yang menempel di pipi TENTRAM ternyata sudah bersimbah air mata. Ibu...TENTRAM mau bangkit...Oh Tuhan, TENTRAM lelah seperti ini.

***

4 tahun kemudian... Di dalam kamarnya yang terkunci rapat, TENTRAM mulai sibuk mempersiapkan sesuatu. Bangku dan tali yang sudah menggantung . Ya! TENTRAM memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia lelah menunggu DAMAI yang tidak ada kabar beritanya. Maafkan TENTRAM. TENTRAM memanjat bangku yang tidak jauh dari tempat tidurnya dan mulai menyimpulkan tali yang akan digantungkan ke lehernya. Gantung diri! "Bang TENTRAM!!!" suara anak kecil berusia tujuh tahun yang sangat khas di telinga dan ingatan TENTRAM menyontak keheningan di kamar TENTRAM. Buru-buru TENTRAM mencabut kembali tali gantungan dan menyembunyikannya di dalam laci. TENTRAM membuka pintu kamarnya dengan sedikit tergesa-gesa. "HARAPAN?!?" TENTRAM memeluk erat tubuh mungil HARAPAN. "Bang TENTRAM...HARAPAN kangen. Kata bang AMBISI dan orang lain, bang TENTRAM sudah gila karena ditinggal kakakku," lapor HARAPAN manja. HARAPAN adalah adik laki-laki DAMAI, yang selalu menemani TENTRAM dan DAMAI sewaktu mereka masih bersama dulu. "Tapi HARAPAN gak percaya Bang. Bang, kita keluar yuk! HARAPAN ada kejutan untuk Abang." TENTRAM hanya bisa mengikuti HARAPAN yang menariknya keluar. Walapun tubuh HARAPAN masih kecil, tapi ada kekuatan yang TENTRAM rasakan saat itu. "Ini semua teman HARAPAN, Bang. Yang ini namanya KASIH, yang ini ADIL, yang ini BUDI, yang ini YAKIN, ini GIAT, yang ini BONAR, yang ini SINAR..." HARAPAN dengan semangat memperkenalkan teman-temannya kepada TENTRAM. "Dan.....yang itu...tu...Bang..." jari telunjuk mungil HARAPAN mengarah ke pintu halaman rumah. "DAMAI!!!" TENTRAM setengah menjerit dan berlari sekuat tenaga ke arah kekasihnya yang hilang selama ini. Sesaat mereka bertatapan dan kemudian berpelukan sangat erat. "DAMAI, TENTRAM tidak akan hidup tanpa kamu!" pesan TENTRAM dengan suara parau TENTRAM yang memasuki telinga kanan DAMAI. "Begitupun juga aku, TENTRAM." Angin sore itu sangat sejuk. Sesejuk hati TENTRAM dan DAMAI. Dan mereka tidak tersadar bahwa HARAPAN, KASIH, ADIL, BUDI, YAKIN, GIAT, BONAR dan SINAR sudah ada di dekat mereka. "Bang TENTRAM, kak DAMAI, udah dong pelukannya. Kayak di sinetron aja. Sekarang ayo kita main ke danau," ajak HARAPAN. Keheningan sore itu terpecah dengan canda tawa mereka yang berjalan menuju danau yang paling indah di desa.

***

Di ruang lain, AMBISI tertawa terbahak-bahak...tak lama......ia menangis....kemudian tertawa lagi. "Aku butuh uang!!! Aku butuh kuasa!!! Sial!!! Gara-gara anak kecil itu aku kalah. Kenapa anak kecil itu dan teman-temannya berhasil menemukan DAMAI?!?! HARAPAN!!! Ku bunuh kau suatu saat nanti!!!!!!!!" -TAMAT- * Bonar adalah istilah bahasa Batak yang artinya benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun