Mohon tunggu...
destri yana
destri yana Mohon Tunggu... -

editor online, pecinta kuliner ndeso, dan hobi bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminis yang Agamis!

24 September 2013   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:27 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380026520433781489

[caption id="attachment_290600" align="aligncenter" width="360" caption="Feminisme/photo by Shutterstock/alejandro dans neergaard/"][/caption] Hingar-bingar perjuangan kaum feminis di Indonesia telah tersohor hingga ke pelosok. Bahkan berbagai program pemberdayaan perempuan terus digalakkan. Namun, jenis makanan apakah feminisme itu? Hal tersebut telah menjelma jadi sebuah diskursus fenomenal di tanah air. Feminisme sendiri dapat diartikan sebagai rasa sensitivitas yang besar terhadap adanya isu-isu yang dialami kaum hawa di masyarakat, baik yang positif ataupun negatif. Pun, paham ini lebih banyak menimbulkan kesan negatif pada si pelaku, daripada positifnya. Perempuan yang dengan berani mendeklarasikan dirinya sebagai kaum Feminis, sering dipandang arogan atau anti-agama. Mereka dicap layaknya sekelompok perempuan “gila” sebab ulahnya melawan kodrat. Seburuk itukah? Sejenak kita renungkan lebih dalam tentang makna perjuangan kaum feminis di dunia, termasuk di Indonesia. Ada sebuah jawaban bulat, yakni kebebasan. Tetapi, batas kebebasan seperti apa, yang mampu memenuhi “kehausan” mereka akan arti sebuah kebebasan. Sosok Betty Friedan pun lahir sebagai simbol feminisme liberal di Amerika. Ia adalah seorang tokoh feminis militan di masanya, yang juga didaulat sebagai presiden pertama NOW (National Organisation for Woman) pada tahun 1966. Sepak terjang Betty lebih mengarah pada upaya pembebasan peran perempuan dari ranah “rumah tangga”, yang menurutnya dapat mempersempit ruang gerak kaum hawa. Gerakan NOW sendiri mengerucut pada sebuah tujuan penting, yakni menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, dan personal). Tuntutan mereka tidaklah sepenuhnya dibenarkan. Apalagi jika diskursus penyetaraan gender semakin disuarakan di negeri multikultural, seperti Indonesia. Diskriminasi yang dikonstruksi budaya dan agama merupakan momok yang paling menakutkan. Tak dimungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan agama, merupakan tantangan terberat kaum feminis di Indonesia. Selain penguatan terhadap adanya adat dan norma sosial di masing-masing daerah, pengetahuan perempuan di pelosok terhadap gerakan semacam ini masih ditabukan. Pendidikan yang minim tetaplah jadi hambatan. Apabila ditemukan kekerasan ataupun eksploitasi seksual terhadap kaum perempuan, maka mereka hanya bungkam. Keterpurukan tersebut semakin diperparah karena munculnya pembedaan peran perempuan dalam strata masyarakat. Di era modern dan penuh kecanggihan teknologi ini, para anak perempuan pun masih diopresikan dalam masalah patriarki. Alhasil mereka tumbuh dalam doktrinisasi sempit tentang peran perempuan dewasa ini. Tetap taat, walaupun tersiksa. Ingin cerdas, namun tak berkesempatan. Serta tak menghargai harkat dan martabat mereka sebagai perempuan. Manusia yang diciptakan Tuhan dari tulang rusuk sang Adam. Yang bukan hidup untuk menjajah dan dijajah lelaki. Kesetaraan bukan berarti sama. Kesetaraan bisa berarti keberterimaan suatu kaum atas perlakuan masyarakat terhadap mereka. Yang dapat memberi kenyamanan dan kesejahteraan bagi kehidupan kaum tersebut. Kaum feminis yang agamis adalah sebuah jawaban logis untuk tetap berjuang demi kaum perempuan di Indonesia. Janganlah terpatri pada pola pikir mengubah kultur dan paradigma beragama suatu bangsa! Sungguh sebuah asa yang sia-sia dan tak masuk akal. Mencoba menjadi kaum feminis yang tetap agamis dan menjunjung tinggi nilai agama, adalah suatu keselarasan dalam tenggang rasa antar umat. Maka, dalam praktiknya tidak ada yang berusaha menjatuhkan keyakinan agama tertentu terhadap diskursus kesetaraan gender. Selain itu, tak pernah ada agama yang mengklaim bahwa perempuan harus direndahkan dan dijajah. Malahan sosok perempuan ditinggikan lewat peran mereka sebagai ibu. Peran mulia yang dianugerahkan Tuhan pada kaum tesebut. Jangan pula memaksakan ayat-ayat agama untuk membenarkan pendapat yang belum jelas sejatinya! Hidup damai bukanlah sebuah mukjizat, melainkan pilihan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun