Selasa, 7 Februari 2012. Gerimis masih saja mengguyur kota kecilku sejak shubuh tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Aku mulai gelisah, setengah jam lagi aku ada janji dengan seseorang dan sepertinya gerimis masih enggan untuk berhenti.Kulirik hapeku yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur. Ada satu pesan masuk.
From: My sweetheart
Hai jadi ketemu kan? Kayaknya bakal ngaret nih, gerimis :)
Aku menghempaskan badan ke tempat tidur, disampingku tergolek manis sebuah kotak kado berpita biru muda. Kuambil sepucuk surat yang terselip manis diantara rangkaian pita. Kubaca sekali lagi isi surat tersebut. Menyusuri kata demi kata, takut salah menuliskannya. Tak terasa air mataku mengalir, membasahi pipi. Ah kenapa setiap kali aku ingat kamu, aku selalu saja menangis. Di tengah kegundahanku tiba-tiba hapeku bergetar pelan, ada satu pesan masuk.
From: Citra
Indira, please temui aku di kafe bianglala sekarang! I need you now!
Kuulangi lagi membaca sms dari Citra, sahabatku. Tidak biasanya dia menyuruhku datang tiba-tiba, ada apa dengannya? Ada sesuatu yang teramat pentingkah atau dia hanya bercanda?, Sejak dulu Citra memang suka sekali mengerjaiku. Kenapa harus hari ini Citra meminta tolong padaku, hari ini aku sudah ada janji dengan orang paling spesial dalam hidupku. Huff, selalu saja aku tak bisa menolak permintaan sahabatku itu.
Gerimis akhirnya berhenti, langit Purwokerto tampak mendung. Kafe Bianglala masih sepi pengunjung, hanya lima orang yang terlihat sedang santai menyantap menu sarapan paginya. Kulihat Citra duduk di kursi pojok sebelah timur kafe ini, tidak seperti biasanya ia tampak murung, ia juga hanya mengenakan skinny jeans dan kaos pendek dibalut cardigan hitamnya. Kali ini senyum ceria dan gaya enerjiknya lenyap entah kemana.
“Hei..ada apa?” Kutepuk punggung sahabatku itu seraya mengambil posisi duduk tepat di sampingnya.
Bukannya menjawab, ia malah menangis sesenggukan di depanku. Aku sedikit panik menghadapi tangisnya, kupegang tangannya berusaha untuk membuatnya sedikit tenang.
“Kamu kenapa Citra? Cerita dong ke aku, siapa tahu aku bisa bantu” Kubisikkan kata-kata itu di telinganya.
Tangisnya kini mulai reda, wajahnya memerah.
“Rendi...Rendi..” Bisik Citra pelan
“Ada apa dengan Rendi Ra?” Tanyaku, tak kalah pelannya. Ada rasa was-was dalam hatiku.
“Kamu tahu kan in, tiga bulan lagi aku dan Rendi akan segera menikah?”
Aku mengangguk pelan.
“Kita sudah pacaran lebih dari lima tahun, aku sudah hapal kebiasaan Rendi. Dia pria baik yang selalu bertanggungjawab. Dia pulalah yang selalu meyakinkan aku untuk membina rumah tangga bersamanya.” Citra diam sesaat, nafasnya kembali tak beraturan. Dia kembali menangis.
“Iya aku tahu itu, lantas ada hubungan apa dengan tangismu sekarang?” Aku sudah mulai tak sabar mendengar ceritanya, Citra terlalu lama menangis.
“Rendi...dia selingkuh In. Dia tega menghianatiku”
Sejenak aku tak bisa mengontrol emosiku, aku gugup di depan sahabatku.
“Jangan menuduh sembarangan Ra, aku tahu Rendi itu pria baik-baik” Kataku.
“Aku juga awalnya mengira begitu In, tapi..kenyataannya sekarang dia tega bermain mata dengan perempuan lain.”
“Bagaimana kau tahu kalau dia selingkuh?” Tanyaku, tak tahu mengapa keringat dingin mulai keluar dari tubuhku.
“ Dari handphonenya In, kemarin nggak sengaja Rendi meninggalkan handphonenya di meja tempat kita makan berdua, waktu itu Rendi minta izin ke belakang. Karena penasaran dengan sms yang berkali-kali masuk ke handphonenya, akupun mencoba mencari tahu dari siapa sms itu berasal” Citra menarik nafas pelan. Mengatur emosinya yang mulai naik lagi.
“Kamu tahu In, sms itu dari seorang perempuan, aku tahu gaya penulisannya. Kubaca setiap percakapannya dengan perempuan itu. Mesra, sangat mesra!!” Air mata mulai keluar lagi dari mata sipit Citra, sepertinya ia sudah kehilangan kata-kata untuk meneruskan ceritanya.
Aku hanya bisa diam mematung, tak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mengatasi ini semua. Kuberikan sehelai sapu tanganku padanya. Sekali lagi mencoba membuat hati sahabatku tenang. Setelah beberapa menit tanpa kata, Citra memulai monolognya kembali.
“Jujur In, hatiku sakit..sangat sakit. Kamu tahu kan bagaimana rasanya dikhianatin oleh orang yang sangat kita cintai, lelaki yang akan jadi suamiku. Tiga bulan lagi kita akan menikah In.. aku nggak tahu harus berbuat apa untuk masalah ini” Suara Citra mulai melemah.
“Please In, help me” Kata-kata singkat itu menohokku. Entah kenapa dadaku terasa sesak.
Kulirik handphoneku yang berkali-kali bergetar tanda panggilan dan sms masuk. Tampak dilayar handphone terukir manis nama my sweetheart. Aku tak kuat lagi memandang wajah Citra yang mulai kuyu, dia sahabatku yang paling aku sayang. Perasaan ini, lagi-lagi membuat dadaku sesak. Sepertinya aku sudah tak bisa bernafas tiap kali melihat air mata kesedihan sahabatku.
Kuambil handphone dari dalam tasku, aku segera beranjak dari kursi dan meninggalkan Citra seorang diri. Di samping taman kafe yang sepi aku mulai memencet nomor orang yang sangat spesial di hatiku.
“Halo sayang..” Tampak suara di seberang sana. Kupejamkan mataku, kutarik nafas dalam-dalam. Aku harus berani mengatakannya, harus.
“Maaf, sepertinya kita harus mengakhiri hubungan ini RENDI” Kataku pelan namun pasti pada seseorang di seberang sana.
“Loh..maksudmu apa sayang?”
“Please Rendi, kembalilah pada calon istrimu. Kembalilah pada Citra, ia tunanganmu. Aku sayang Citra, dia lebih pantas mendapatkanmu daripada aku. Tolong sudahi hubungan cinta kita, Citra tak pantas kita sakiti.”
Trekk. Kututup percakapanku dengan Rendi, ada derai air mata yang tak bisa aku bendung. Citra, maafkan aku yang tega menyakiti hatimu. Aku memang mencintai Rendi, tapi bukan dengan cara ini yang aku harapkan. Aku terlalu menyayangimu Ra, aku tak mungkin menodai persahabatan kita. Dan, kado serta surat itu akan aku simpan sendiri, bukan untuk Rendi dan bukan untuk kamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H