Berkali-kali kulirik kalender bersampul pegunungan yang tertempel manis di tembok kamarku, satu minggu lagi menuju tanggal 14 Februari yang sangat sakral bagiku. Stop, jangan langsung mengira aku seperti gadis-gadis pada umumnya yang menetapkan tanggal tersebut sebagai hari Valentine. Dari dulu aku tak berminat merayakannya. Tanggal 14 Februari nanti, merupakan hari spesial untukku, sampai-sampai membuat aku tak bisa tidur hingga pukul 02.00 dini hari ini.
“Selesai kuliah, langsung ikut Ibu ke tempat Tante Wid ya”Kata Ibu di sela-sela kegiatan rutinnya memasak setiap pagi.
Aku hanya mengangguk, sepertinya untuk menjawab dengan kata-kata saja susahnya minta ampun, rasanya aku ingin sekali menumpahkan kegundahan hatiku ini dengan seseorang yang benar-benar mengerti aku.
“Selamat ya Lan, seneng deh denger berita kamu mau nikahan” Lia mencubit lenganku gemas.
Seharusnya sebagai seorang gadis yang akan menikah, aku bisa menampakkan ekspresi senang dan antusias dengan ucapan selamat dari teman-teman kelasku. Tapi, masalahnya pertunanganku kali ini terlihat hanya sepihak, siapa sih yang suka dijodohkan?
“Memang sih banyak yang bilang kalau perjodohan itu nggak baik. Banyak yang rumah tangganya gagal loh.” Rina mencoba menasihatiku panjang lebar siang ini di taman dekat kampus.
“Sok tahu banget kamu Rin, kayak udah pernah ngrasain aja” Sela Wika, yang juga sahabatku.
“Eeeh..bener loh ini..tanteku itu yang di Bandung, nikah sama omku karena dijodohin, baru 2 tahun nikah langsung cerai. Terus ya, tetanggaku namanya Mbak Dewi baru kemarin nikah, sekarang minta cerai. Usut punya usut ternyata dulu nikahnya dijodohin juga sama lelaki pilihan orang tuanya.”
“Tapi nggak semuanya gagal kok, tenang aja Lan aku yakin orangtuamu pintar memilih calon buatmu” Kata Wika sambil mengusap telapak tanganku.
“Sebagai sahabat, walaupun nggak setuju sama namanya perjodohan dan segala macam jenisnya aku tetep doain kamu biar bisa jadi keluarga sejahtera, sakinah, mawaddah dan warrahmah” Rina nyengir lebar ke arahku.
Malam ini angin berhembus cukup kencang, jam menunjukkan pukul 19.30. Aku masih saja memikirkan perjodohan itu. Ayah dan Ibuku memang sudah berencana menjodohkanku dengan putra om Gani sejak aku lulus SMA dan aku baru mengetahuinya sekarang. Nama calon suamiku itu Adit. Dia empat tahun lebih tua dari usiaku. Kariernya bagus, sekarang dia menjabat sebagai Direktur muda di Perusahaan Swasta di Jakarta. Dan, kata Ibuku selain sukses dunia dia juga tak pernah melalaikan sallat, pokoknya agamanya juga bagus. Sebagai wanita normal seharusnya aku senang dengan keadaan ini. Tak perlu susah-susah mencari lelaki yang terjamin bebet,bibit dan bobotnya. Namun, setengah hatiku berontak. Bagaimana dengan rencana kuliahku untuk mengambil S2 di Jepang, jelas-jelas mas Adit melarangku untuk bekerja dan hanya membolehkanku menjadi ibu rumah tangga saja setelah menikah nanti. Aku bimbang, perutku mual dan kepalaku pening. Padahal hari ini adalah tanggal 14 Februari hari dimana aku genap berusia 20 tahun dan hari dimana aku akan melepas status kegadisanku.
“Ayo nak, sebentar lagi ijab kabulnya dimulai” Ibu memasukki kamarku dan mengajakku keluar. Namun, badanku benar-benar tidak kuat untuk berdiri. Aku merasakan tubuhku panas dan keringat dingin terus mengalir keluar. Lima belas menit acara sakral itu akan dimulai, aku pusing, aku tidak kuat dan aku masih saja bimbang. Sampai semuanya gelap dan tanpa tahu bagaimana kisah ini akan berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H