Suara ayam berkokok telah terdengar, adzan berkumandang secara bergantian.
   "Huaaaa." Menutup mulutnya.
   "Jam berapa sekarang?" melirik ke jam dinding di hadapannya.
   "Ya ampuuunnn." berlari ke dapur.
   "Seandainya nenek sehat, pasti aku tak susah payah masak di pagi hari." batinnya.
   "De, bangun. Sudah siang." menepuk-nepuk pundaknya
   "Hemmm..."
   "Teteh berangkat dulu ya, makanan sudah disiapkan di meja makan."
   "Iya." kembali tidur.
Akupun berangkat sekolah dan meninggalkan adikku yang sudah aku bekali makanan.
Setalah seminggu dengan rutinitas yang baru, aku mendapat telepon katanya nenekku dikabarkan akan pulang, karena nenekku mengalami komplikasi penyakit sehingga dokter sudah tak sanggup lagi. Aku pun bergegas membereskan rumah karena pasti banyak orang yang pergi ke rumahku untuk menjenguk beliau.
Sampailah nenekku dirumah, orang-orang berlalu lalang bergantian melihat keadaan nenekku. Aku senang ia bisa pulang tandanya aku tak lagi berdua dirumah. Sayang, nenekku tak mampu lagi untuk berjalan, kakinya bengkak akibat infusan. Kini tugasku bertambah selain dari sekolah dan mengurus rumah, akupun harus mengurus nenekku.
Ayam berkokok menjemput mentari, hari-hari terus berganti, semakin hari bukan semakin membaik keadaannya, tetapi sebaliknya. Beribu cara sudah dilakukan ayahku untuk bisa membuatnya sembuh. Jangankan sembuh, makan saja sudah tak mau, bahkan membuka matapun sudah tak mampu. Aku dan keluarga hanya bisa pasrah kepada sang ilahi.
   "Nek, cepet sembuh nanti aku sama siapa?" kata adikku sembari melihat nenekku yang tertidur pulas.
   "Kasihan adikku." batinnya.Â
Bulan pergi meninggalkan gelap, matahari pun muncul di ufuk timur. Tandanya aku harus siap-siap pergi ke sekolah. Tak ada firasat buruk apapun saat itu. Ketika aku pulang, tiba tiba aku di telepon katanya aku harus cepat sampai dirumah. Timbullah rasa tidak enak hati dan pikiranku kacau saat itu.
   "Kenapa aku disuruh cepat pulang ya?" batinnya.
Kring... kring...
   "Ada apa ya dia menelepon ku?" merasa heran, "halo?"
   "Nenekmu..."
   "Ada apa dengan nenek?" tanyaku.
   "Dia sudah..." nada terbata-bata
   "Sudah apa?" matanya memerah.
   "Sudah tiada"
   "Innalilahi wa innailaihi raji'un" kataku dengan lirih.
Ketika sampai, air mataku jatuh membasahi pipiku. Rumahku ramai, dengan duka. Hatiku sakit bagai angin malam yang menusuk dadaku. Aku segera berlari kerumah dan sujud di depan beliau. Aku menangis dan meminta maaf kepadanya.
   "Kenapa Engkau ambil orang yang aku sayangi?", "lalu rumah ini?", "bagaimana denganku, pun adikku?" batinnya sembari mencium kening beliau.
Hari itu juga, setelah sholat Isya beliau di makamkan dihalaman rumahku. Aku tak mampu membendung air mataku. Tapi apa daya ini semua sudah ditakdirkan oleh yang Maha Kuasa.
Semenjak itu, aku tinggal dirumah bersama adikku. Aku tak punya pilihan lain memang itu jalan hidupku. Sedih rasanya, meratapi kehidupan yang sangat pahit daripada yang lain. Berada jauh dengan orang tua dan mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan sendiri.