Semenanjung Korea telah lama menjadi pusat perhatian dunia, terutama terkait dengan perkembangan program nuklir Korea Utara. Ancaman nuklir di kawasan ini tidak hanya mengancam stabilitas regional, tetapi juga memiliki implikasi serius bagi perdamaian dunia. Seiring dengan meningkatnya kemampuan nuklir Korea Utara, komunitas internasional dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga keamanan global. Pada tahun 2002, Korea Utara mengakui bahwa mereka diam-diam mengembangkan program senjata nuklir.Â
Kemudian pada 9 Oktober 2006, sesuai laporan BBC (2017), Korea Utara melakukan uji coba ledak senjata nuklir bawah tanah di provinsi Utara Hamgyong, tepatnya di pusat uji coba nuklir Punggyeri. Uji coba nuklir ini kemudian dikecam oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan dikeluarkannya Resolusi 1718. DK PBB meminta agar Korea Utara segera kembali ke pembicaraan multilateral untuk mengakhiri uji coba nuklir (United Nations, 2006).Â
Kecaman PBB tidak menghentikan Korea Utara untuk melakukan uji coba nuklir lagi. Hal ini dibuktikan dengan uji coba peledakan senjata nuklir bawah tanah kedua pada 25 April 2009. Menurut Nuclear Threat Initiatives (NTI) (2021) setidaknya, Korea Utara telah melakukan 6 kali uji coba senjata nuklir dari tahun 2006 hingga 2021. Program nuklir Korea Utara telah menjadi sumber ketegangan sejak negara tersebut pertama kali menguji senjata nuklirnya pada tahun 2006. Meskipun berbagai upaya diplomatik telah dilakukan, termasuk perjanjian denuklirisasi dan dialog multilateral, Korea Utara terus mengembangkan teknologi nuklirnya. Negara ini mengklaim bahwa pengembangan senjata nuklir adalah langkah penting untuk mempertahankan kedaulatan dan melindungi diri dari ancaman eksternal, terutama dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara meningkatkan risiko konflik bersenjata di kawasan, yang pada gilirannya dapat memicu eskalasi yang melibatkan negara-negara besar dan mengancam perdamaian dunia. Tidak diketahui secara tepat berapa jumlah senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara. Namun, menurut Arms Control Association (2020) diperkirakan Korea Utara memiliki sekitar 30 hingga 40 senjata nuklir.Â
Korea Utara telah menunjukkan sifat agresifnya terhadap tetangganya dengan melakukan uji coba peledakan senjata nuklir dan peluncuran rudal berkapabilitas nuklir. Clapper (2014) menjelaskan bahwa program senjata nuklir dan misil Korea Utara dapat menimbulkan ancaman serius bagi Amerika Serikat dan lingkungan keamanan di Asia Timur, kawasan yang memiliki populasi besar, militer, dan ekonomi terbesar di dunia. Tentu saja, senjata nuklir Korea Utara akan menjadi sumber ketegangan yang dapat terus bertumbuh akibat didorong oleh faktor politik dan militer di Korea Utara yang terus mengagungkan senjata nuklir.
Ancaman nuklir Korea Utara memiliki dampak luas terhadap keamanan regional. Di Asia Timur, ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan sering kali berada di ambang konflik terbuka. Kehadiran senjata nuklir membuat potensi konflik di kawasan ini menjadi jauh lebih berbahaya, dengan risiko penggunaan senjata pemusnah massal yang dapat menyebabkan kehancuran besar. Selain itu, program nuklir Korea Utara juga merusak upaya global untuk mencegah proliferasi senjata nuklir.Â
Keberhasilan Korea Utara dalam mengembangkan senjata nuklirnya dapat mendorong negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama, yang pada akhirnya dapat menyebabkan perlombaan senjata di berbagai belahan dunia. Proliferasi senjata nuklir ini akan mengikis kepercayaan antarnegara dan memperburuk ketegangan global. Proliferasi senjata nuklir ini merupakan ancaman nyata bagi rezim non-proliferasi internasional yang telah dibangun selama beberapa dekade melalui perjanjian-perjanjian seperti Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).Â
Jika lebih banyak negara memiliki senjata nuklir, risiko konflik nuklir secara global meningkat. Ini tidak hanya akan mengancam perdamaian dunia, tetapi juga dapat menyebabkan bencana kemanusiaan yang luar biasa jika senjata tersebut digunakan. Selain itu, keberadaan senjata nuklir juga meningkatkan risiko kesalahan perhitungan atau insiden yang dapat memicu konflik bersenjata yang melibatkan senjata pemusnah massal.
Upaya Internasional untuk Menangani Ancaman Nuklir
Sejak percobaan peledakan nuklir bawah tanah, Korea Utara telah menerima sanksi berulang kali dari negara-negara Barat dan Asia-Pasifik. Salah satu sanksi tersebut adalah sanksi ekonomi. Pengenaan larangan ekspor barang, teknologi dan jasa yang berkaitan dengan senjata, serta barang mewah skala besar, telah berlaku sejak Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1718 (UN, 2006). Sanksi ekonomi ini menyebabkan larangan impor dan ekspor produk tertentu ke Korea Utara.Â
Noland (2009) menjelaskan bahwa ketegangan nuklir yang sengaja diciptakan oleh Korea Utara saat uji coba senjata nuklir 2006 dan pengenaan sanksi kepadanya, diperkirakan akan meningkatkan risiko interaksi ekonomi dengan Korea Utara sehingga negara-negara yang berinteraksi dengan Korea Utara dapat menekan (hingga menghentikan) perdagangan. Sanksi yang diterapkan oleh PBB diyakini mampu menekan Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya. Namun, efektivitas sanksi ini sering kali dipertanyakan karena Korea Utara tetap gigih dalam melanjutkan pengembangan senjata nuklirnya(Setiawan et al., 2021)