Teman-teman, saya yakin teman semua kadang kesal dengan sikap tukang parkir yang baru saja kita parkirkan kendaraan, langsung dipinta uang parkir. Bayangkan, tiga kali kita memarkirkan kendaraan sudah berapa banyak rupiah yang kita berikan. Bikin kesalnya, bila ketika kita memarkirkan, sang tukang parkir entah di mana, tapi giliran kita mau pulang, barulah tukang parkir datang lalu mendekati. Tangannya siap menengadah. Adakalanya, ada hati tak ikhlas sebab terkesan hanya meminta uang dengan mudah, padahal jelas kita memeras keringat untuk mendapatkan sepeser uang.
Namun, hal demikian tidak terjadi pada tukang parkir yang satu ini. Entah siapa namanya, saya pun lupa menanyakan nama bapak ini. Tapi yang jelas, saya amat ingat dengan perawakan beliau. Berseragam oranye, berkulit cukup legam, dan khasnya bapak ini berjalan jingkat karena harus mengenakan tongkat untuk menyangga kaki kanannya. Bapak ini sebagai tukang parkir di Alfamart IV sebelah kiri, kurang lebih 200 meter dari Chandra Wayhalim tidak jauh dari perempatan lampu merah.
Mula cerita, kami (FLP Lampung) tengah mengadakan Musyawarh Wilayah FLP dan Talkshow kepenulisan di Rumah Albi Alfmart, Wayhalim. Rumah Albi sudah biasa dijadikan tempat kegiatan workshop dan sebagainya. Tempat itu diberi pinjam secara cuma-cuma, tanpa dibayar sepeser pun. Terkecuali sang pemilik tidak akan pernah mengizinkan bila kegiatan yang diadakan berbau politik sedikit pun. Sejak Sabtu--Minggu, 3--4 Mei 2014, saya bolak-balik menuju Jagabaya--Wayhalim untuk mengurusi banner dan sertifikat. Saya pun memarkirkan motor tepat di depan Alfamart. Mungkin sudah ter-mindset di otak saya, bila bertemu tukang parkir, saya agak sebal saja. karena dari setiap pengalaman yang ada, saya mendapatkan sikap yang kurang baik dari sang tukang parkir.
Akan tetapi, tukang parkir yang satu ini amat berbeda dari tukang parkir yang saya jumpai. Karena mengejar waktu harus mengurusi banner, spanduk, dan sertifikat, saya pun bolak-balik memarkirkan motor saya. Tatkala memarkirkan motor, saya disambut baik oleh tukang parkir. Ia membabarkan senyum dan kata-kata yang ramah. Memanggil saya dengan sebutan ibu (meskipun agak "singut" dikit dengan sebutan ibu karena saya masih single, hehe). Ia memberikan saya kartu parkir, dengan segera saya simpanlah. Namun tak lama, sekitar 30 menit, saya siap-siap menghidupkan mesin motor kembali. Saya hanya bilang, "Nanti ya Pak, sekalian. Karena masih bolak-balik." Dengan senyum ramah dan kata-kata yang santun, ia menjawab, "Iya Bu, gampang." Saya tak menyahut, hanya membalasnya dengan senyum lalu bergegas pergi.
Ba'da zuhur saya tiba kembali ke lokasi Muswil setelah beberapa urusan di luar agenda tertunaikan. Siap maju bersama teman-teman saat LPJ meskipun amat disayangkan saya tidak ada saat pembacaan LPJ. Akhirnya masa-masa pengkritisan LPJ dan pandangan umum-khusus. Banyak kritikan untuk kami. Oke, sebagai bara di kepengurusan berikutnya. Hari pun senja. Azan magrib berkumandang. Berhubung saya harus mengantarkan Mbak Sinta Yudisia (Ketua FLP Pusat) untuk menginap di rumah Mbak Desma (pengurus FLP Lampung) di Labuhan Dalam, saya pun mendampingi beliau meski lelah benar-benar rasanya mengoyak badan.
Usai menunggu Mbak Sinta menunaikan tiga rakaat, kami berjalan dari surau menuju parkiran Alfamart. Bapak tukang parkir itu masih ada. Saya mencari kunci motor, dengan sigap sang tukang parkir membantu saya. Segera terbesit di pikiran, saya ingin memberikan uang parkir lebihan padanya, terlebih saya hampir seharian parkir di sana. Tapi sayang, saya tak pegang uang, Mbak Sinta segera memberikan uang Rp 2.000 rupiah padanya. Saya sedikit sedih. Semestinya saya bisa memberikan uang lebihan pada bapak tukang parkir. Semoga saja esok masih berjumpa dengannya
Ahad, 4 Mei 3014, pagi-pagi saya ke Rumah Albi kembali. Kali ini FLP Lampung mengadakan talkshow kepenulisan yang menghadirkan Sinta Yudisia (Ketua FLP Pusat), Peringga Ancala (Penulis Novel dan Juara II Tulis Nusantara 2013), Firman Junaedi (Pendongeng dan Penulis dongeng anak) dan Tuti Sitanggang (Penulis Novel dan Cerita Anak). Kegiatan berjalan lancar. Sesi demi sesi berlangsung sesuai harapan. Para panitia saling bersinergi melancarkan kegiatan. Hingga akhirnya usai dan saya kembali menuju parkiran. Alhamdulillah, motor saya masih ditunggui Bapak Parkir. Dia lemparkan senyum, begitu pun saya berikan senyum padanya. Jingkatan langkah kakinya yang tak tak sempurna layaknya kebanyakan orang, sungguh membuatnya tak putus asa untuk membalikkan arah motor dengan penuh tenaga."Kartu nomornya masih ada Neng?" tanyanya. Saya merogoh tas, menemukan kartu parkir dan langsung memberikan padanya. Tak lupa, saya pun memberikan selembar uang padanya. Ia menghitung lembarang-lembaran uang kembalian dan menyodorkannya ke saya. Saya menolak lalu berkata, "Untuk bapak saja." Dengan takzim ia berkata, "Terima kasih ya, Neng." Saya tak menjawab, hanya senyum dan siap-siang mengantarkan Mbak Sinta menuju rumah Mbak Desma lalu menuju Bandara Raden Intan.
Sungguh, pemberian uang itu, sangat tak seberapa dibandingkan kemanusiawiaan yang tertanam dalam hati sang tukang parkir. Ia tak memikirkan berapa banyak uang yang diberi pengendara. Asal kendaraan aman, itulah harapnya. Ada rasa bersalah dalam diri saya ketika kali pertama menilai tukang parkir sebab perlakuan yang "begitulah" selalu saya dapatkan. Namun tidak dengan bapak tukang parkir yang satu ini. Keikhlasan hatinya amat terpancar. Rasa kemanusiawiannya amat kentara. Fisiknya memang tak sempurna, jalannya pun tak sesempurna kita sebagai manusia pada umumnya, namun hatinyalah yang menyempurnakan dirinya. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H