Mohon tunggu...
Destiani Desti
Destiani Desti Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang guru yang tengah mengejar kebun harapan di kepalanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mak Isah

5 Mei 2014   21:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Udara tipis mengiris kulit. Sejumput doa abadi belum juga henti dirapalkan dari kedua bibirnya. Masih dalam pengharapan yang sama, semoga Gusti Allah melimpahkan rezeki padanya. Usai kalimat-kalimat sakti terlantun takzim untuk Sang Khalik, jemarinya menghapus lembut sisi wajah. Ada yang mengalir dan merembes di kedua pipinya. Air mata selalu tak kuasa ditahannya tatkala salat telah tertunaikan.

Sebuah meja kayu diangkat lalu didorong dengan sepenuh tenaga yang dimiliki. Mengelapnya dengan kain basah lalu diletakkannya satu tampah lebar. Kue-kue basah mulai dijajakan.

Wanita yang tak pernah jemu melantunkan doa disusul dengan menjajakan kue basah ialah Mak Isah. Mak Isah saban hari menerima titipan berbagai kue. Dengan ‘pakaian dinas’ berupa kaos pendek dan kain jarik serta rambut dicepol. Ia jalani hidup apa adanya.

“Alhamdulillah… moga laris,” Mak Isah menepik-nepikkan lembaran ribuan di pinggiran tampah, “mau kue yang mana, Neng?” tanyanya dengan seringai gigi. Aku mengembangkan senyum. Memilih-milih kue sesuai selera.

Kue yang biasa dijualnya beragam. Ada gemblong, cucur, talam pandan, apem, dan lainnya. Harganya murah. Aku kerap memborong kue sebelum berangkat ke sekolah—tempatku bekerja—di Gunungterang.

Nuhun ya, Neng,” Mak Isah menerima uang lembaran dariku penuh takzim, “ini kembaliannya, Neng. Mau pakai ampas, Neng?” tanyanya. Aku mengangguk menandakan ya. Dengan segera ia membubuhi apem dengan ampas di sobekan daun.

Mak Isah tak pernah mengambil untung besar. Hanya seratus—dua ratus perak tiap buahnya. Bila ada beberapa kue yang bersisa, Teh Jum—sang pembuat kue—dengan sukarela memberikan kue-kuenya pada Mak Isah. Pastinya, kue itu tak serta merta dimakannya sendiri. Ada dua cucung yang tak pernah menolak ketika wanita senja itu menyodorkan kue untuk mereka. Baginya lumayan guna mengirit uang jajan untuk dua bocah cucung kesayangannya.

Perpisahan dengan suaminyalah yang membuatnya kini berjuang sebatang kara meski anak-mantu hidup bersamanya. Sejak tiga setengah tahun lalu, suaminya meninggalkan Mak Isah. Kala itu, hati Mak Isah terguncang. Berita heboh membanjiri Kelurahan Kangkung. Betapa tidak, suami Mak Isah meninggal lantaran ledakan bom ikan. Bila ia merunut musabab kronologis suaminya tiada, hatinya takkan tega. Sepasang mata yang memutih itu tak bisa dielakkan akan ada air mata yang mengembun lalu menetes.

Lara belum usai di situ. Sepeninggalan suaminya, Mak Isah bersusah payah harus menghidupi dirinya. Mencuci pakaian sendiri, memasak apa adanya, juga ‘dinas’ paginya tak boleh libur. Ya, ia tak boleh libur berdagang kue. Dari situlah ia bisa menumis seikat kangkung dan mendadar beberapa butir telur. Itu saja.

Pilunya tak kunjung begitu saja. Kang Sugeng—anak sulung—selalu menyusahkan. Padahal ia sudah beristri dan beranak dua. Ia bekerja sebagai nelayan musiman. Bila along, uangnya langsung ludes buat foya-foya dan mabuk. Setelah itu, sesal tak berjuntrungan.

“Minta uang, Mak!” pinta Kang Sugeng di pagi hari setelah satu pelanggan Mak Isah membayar borongan kue talam. Aku melirik sengit pada pria berkulit legam dan pada lengannya bertato naga itu. Badannya kumal. Tercium alkohol dari mulutnya.

“Nanti dong, Kang. Kasihan Mak Isah. Baru saja laku berapa biji,” sergahku dengan segenap keberanian. Semestinya, apa urusanku berani-beraninya mengurusi orang lain. Mungkin karena iba dengan peluh Mak Isah. Ah, jenak aku tak hirau bila hatinya tertusuk dengan kalimat sindiranku. Sudah waktunya ia memelekkan kedua matanya atas pengorbanan Mak Isah.

“Buat Si Neng sama Hayati saja, Mak,” desaknya, “pada mau berangkat sekolah tuh,” sepasang bibirnya memonyong, mengarah pada kedua anaknya berlari kecil menuju Mak Isah. Ia mencomot talam yang dijejalkan ke mulutnya lalu menggamit kue macho. Berlalu begitu saja tanpa terima kasih untuk maknya. Aku geregetan. Gigi-gigiku bergemeretak. Rasanya kepalaku mendidih melihat Mak Isah diperlakukan demikian.

Aku berjalan penuh pikiran. Tentang Mak Isah masih memadati tempurung kepalaku. Hidup susah mungkin bukanlah kesulitan baginya. Kesusahan yang dicecapnya adalah bentuk kelembutan cinta Sang Gusti.

“Bukannya ini kasih sayang Gusti Allah ya, Neng,” imbuhnya tiba-tiba saat aku berdiri di depannya sambil memilih-milih kue. Sempat aku menoleh kanan-kiri. Khawatir bukan aku yang diajak bicaranya. Tapi, saat itu cuma aku yang ada di depannya. Lagi-lagi aku tersenyum. Berusaha menawarkan sendu yang cukup kentara tergores di retinanya.

“Bersyukur bae ya, Neng,” tambah mak sambil membungkus kue-kue pilihanku. Mengencangkan ikatan kain jarik yang kendur lalu meraih satu kaleng bekas susu yang dipenuhi uang rincingan.

“Mak Isah pasti banyak rezekinya,” balasku sebelum pamit padanya.

“Dari mana Neng tahu?” cecarnya. Ada sumringah di wajahnya.

Aku kembali tersenyum. Meletakkan uang rincing ke dalam saku seragamku. Sebelum menjawab, aku menoelnya pelan, “Karena Mak Isah jalani hidup penuh syukur,” pungkasku kemudian berlalu darinya. Mak Isah tersenyum malu.

Jelang senja, langit mendung sejak tadi. Namun, setitik air langit belum juga turun. Desir angin berklai-kali menyapu pori wajah. Ah, senja ini aku berharap hujan turun dengan gembira. Agar doa sebanyaknya dapat kurapal untuk Mak Isah. Sebab tausiyah yang kudapat dari Ustaz Zulfikar, salah satu waktu mustajab dikabulkannya doa ialah saat hujan turun. Ah, Allah, sungguh mudah bagimu menurunkan hujan saat ini jua. Aku hanya ingin Kau segera turunkan hujan di kampung ini. Berharap Kau ridho akan doaku untuk Mak Isah.

Bunyi knalpot bising sekonyong-konyong menyeruak. Beberapa motor berhenti di pinggir jalan. Sepasang mataku menyipit agar pandanganku jelas siapa yang berkendara dengan knalpot yang memekakkan telinga.

“Nanti malam ya!” serunya dengan lengkingan keras. Aku bersingut. Mengalihkan pandangan dari pria yang bersuara tanpa aturan itu. Postur tubuh yang kuhafal jelas membuatku enggan berlama-lama melihatnya. Pria itu, Kang Sugeng, anak dari Mak Isah. Entah, dari mana ia. Membawa bungkusan cukup besar dan kentara beban bungkusan itu cukup berat. Tiba-tiba saja ada penasaran ingin menyelidik. Namun, karena rasa sebalku padanya, kuurungkan saja.

Esok harinya, Mak Isah agak siang menjajakan kue-kuenya. Sempat membuatku bolak-balik ke warungnya. Kupikir Mak Isah tak berjualan. Tapi perkiraanku salah. Keistikamahannya menjadi penjual kue, membuatku meletakkan rasa takzim padanya meski ia bukanlah siapa-siapaku.

Atis, Neng,” tanpa kumulai pembicaraan, Mak Isah mengimbuhkannya.

“Sakit, Mak?” tanyaku, “minum obat, Mak,” saranku. Menatap kedua matanya yang sayu, kerut wajahnya yang tampak.

“Iya, nanti Neng. Nunggu si Hayati aja kalau sudah bangun,” jawabnya. Aku menggeleng. Jam segini belum juga bangun.

Sengaja aku berlama-lama di dagangan Mak Isah. Beberapa pembeli sudah berlalu, tapi aku tetap putuskan untuk tetap berdiri. Aku geregetan sama kedua bocah itu. Bila saja mereka mencomot kue-kue ini, akan kucelotehkan mereka. Biar mereka sadar neneknya ini tengah sakit. Atau bisa saja bila si ayah—Kang Sugeng meminta uang, ada beberapa kalimat yang kukemas apik tapi cukup menohok untuknya.

Sepuluh menit berlalu aku berdiri di dagangan Mak Isah. Mak Isah tidak menanyakan mengapa aku belum juga berlalu. Kang Sugeng tidak juga tampak. Sementara jarum jam di tangan seolah semakin berlari dan menemui angka demi angka. Khawatir terlambat ke sekolah, aku urungkan keinginan untuk ‘menegur’ Kang Sugeng. Mungkin belum waktunya aku menasihati pria bertubuh kekar itu. Semoga esok Allah mengizinkan.

*

Hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah perpisahan yang tak diinginkan. Bagaimana pun itu bentuk perpisahannya. Akan menguras tenaga. Akan ciptakan setangkup lara.

Kala itu angin laut membawa kabar duka. Kengerian yang selama ini disimpan, terjadi juga. Kegetiran yang belum lama ditoreh, harus dengan paksa ia telan mentah-mentah. Entah syukur atau menjadi hamba yang futur tatkala menerima takdir Gusti Allah.

Malam pilu bagi seorang ibu yang mesti menerima kepergian anaknya. Malam paling pedih ia miliki kembali. Di malam itulah, ia menguras air matanya hingga tiada. Dan di malam itulah ia harus mengingat luka-luka yang menganga sebelumnya.

Gonjang-ganjing kematian Kang Sugeng sampai di telingaku. Aku menghempaskan napas yang setengah menyesak. Innalillahi batinku berucap. Mak Isah dirundung duka kembali. Belum sempat ia menghapus lara atas peninggalan suaminya, kini kepergian anaknya mengaduk-aduk batinnya. Ah, aku tak mampu membabarkan sederet lukanya.

Beberapa hari berlalu, kematian Kang Sugeng masih menjadi pemberitaan yang hangat bagi warga sekitar. Tak urung pembicaraan di belakang sayup-sayup terdengar di telinga.

“Kasihan, suaminya mati kena bom, sekarang giliran anaknya,” ujar seorang. Yang lain bergidik seolah menahan jijik.

“Duh, mati sia-sia itu. Kasihan si Neng dan Hayati,” timpal wanita bertubuh gemuk, berhidung lancip.

“Jangan sampai suami saya begituan,” yang lain ikut menambahkan.

Beberpa hari sudah Mak Isah tak berdagang. Ia perlu mencukupkan tenaga dan telinga kekalau ada bibir-bibir yang mencibir dan menanyakan ini-itu atas kematian Sugeng.

“Ini sudah kehendak Pangestu,” jawabnya melirih ketika si pembeli menanyakan hal yang sudah ditebak mata batinnya.

*

Udara tipis pagi ia tepis. Usai salat subuh, didorongnya meja kayu. Dilapnya dengan kain basah. Sambil menanti orang-orang yang menitipkan kue, Mak Isah terus melafalkan zikir. Berdoa dalam hatinya agar senantiasa kuat.

Aku tersenyum melihat Mak Isah. Ia sudah cukup kokoh berpijak. Mak Isah kembali melayani pembelinya dengan senyum yang sempat redup sebelumnya. Seperti biasa, aku menghampiri dagangan Mak Isah. Memilih-milih kue yang kurangsekkan dalam plastik hitam. Sengaja, aku tak adakan obrolan padanya. Sebab kuyakin, diam adalah pilihan bijaknya kini.

“Bersyukur bae ya, Neng, apa yang Gusti Allah kasih,” imbuh Mak Isah padaku. Wajah sendu, beningan air yang sengaja ditahan di sudut matanya. Kerut wajah dan suara paraunya mengabarkan bahwa ia tengah lara. Aku memilih diam, tapi hatiku merapalkan banyak doa. Semoga Gusti Allah menguatkan separuh hidupnya batinku. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun