Mohon tunggu...
Destiani Desti
Destiani Desti Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang guru yang sealigus memiliki kebun harapan menjadi penulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menulis Itu Bukan Titisan

23 Maret 2015   22:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir pekan begini, usai mengisi ekskul jurnalistik, hal yang paling menyenangkan ialah berkutat di laptop. Tuts tuts laptop diketik satu-satu. Gentar tahan kantuk yang belum kunjung henti juga menggoda. Wahh... paling asyik memang merebahkan badan dan memejamkan mata. Meluruhkan lelah yang menumpuk sejak Senin hingga Sabtu ini. Tapi, semuanya memang akan terbayar bila sudah mem-posting blogger meski barang satu--dua tulisan. Menulis itu Bukan Titisan Menulis itu bukan titisan. Ya, Judul dan subjudul yang aku usung. Tetiba ingat setahun lalu sempat mengikuti workshop kepenulisan dan aku mengikuti lomba menulis. Beberapa orang aku wawancarai. Mereka menyukai menulis. Menulis apa saja itu. Diary, opini, cernak, hingga esai. Sasaran salah satunya ialah Naqiyyah Syam, Ketua FLP Lampung yang kini harus turut serta sang suami yang menimba ilmu magister di Universitas Andalas. Saat itu, aku bertanya padanya, bagaimana membudayakan menulis. Ah, ia amat santai menanggapi pertanyaanku. Ia bilang, kuncinya adalah menulis. Ya, menulis! Tiada jalan lain.

Selain itu, Naqiyyah Syam sempat berbagi juga tentang kesukaannya membaca buku. Sejak kecil, ayahnya, kerap membelikannya buku. Sebelum tidur, Naqiyyah kecil hampir tiap malam didongengkan. Karena kebiasaan-kebiasaan itulah, yang membuatnya terus-terusan suka membaca buku. Terlebih kini, semangat menulisnya selalu bergemuruh untuk terus dan terus menulis, sesibuk apa pun ibu dua orang putra dan satu putri ini. Baginya, harus menulis saat keadaan apa pun. Menulis tak perlu melihat apakah ia memiliki titisan ayah atau ibu yang bisa menulis. Menulis ya, menulis! Untuk siapa pun itu. Kita Belajar Menulis Belum lama, aku memberikan materi menulis cerpen pada jam pembelajaran di kelas. Dari cara merangsang ide, membuat mind mapping, hingga proses editing berkaitan ejaan dan tatabahasa. Semuanya dikupas di hadapan para siswa. Tiada lain dengan tujuan para siswa memiliki bekal menulis. Ya, lagi-lagi menulis. Reaksi apa yang mereka berikan? Hampir semua siswa di kelas merajuk bahwa mereka tidak bisa menulis. Lantas, reaksi apa yang aku berikan? Ya, aku tertawa. Menertawai mereka. Menertawai kesia-siaan mereka yang selama berbelas tahun belajar Bahasa Indonesia, tetapi belum menghasilkan sedikit pun tulisan sebagai rekam jejaknya. Baiklah, langkah pertama yang aku lakukan, mereka kuperintahkan menyiapkan secarik kertas dan pulpen. Aku perintahkan mereka menulis satu kalimat. Lantas, apalagi reaksi mereka? Ya, tepat dugaan saya. Mereka bingung, apa yang hendak ditulis. Bahkan, ada yang merajuk hampir menangis dan kesal karena aku menugasinya demikian. Ia bilang, ia lemah kalau sudah urusan tulis-menulis. Haii, aku tanggapi enteng kembali dengan tawa. Aku hanya perintahkan, "Tulis apa yang kamu rasa sekarang!" Lantas, ia menjawab, "Saya sebal karena Miss Desti menugasi saya menulis," jawabnya. Aku terkekeh dan menyambut jawaban untuknya, "Oke, tuliskan rasa kesalmu!" perintahku. Satu kalimat terlewati. Para siswa merasa telah aman berhasil menjalin kata-kata. Tidak lama, keluhan pun kembali bergemuruh ketika aku menginstruksikan untuk melanjutkan kembali kalimat kedua. Kalimat padu, yang kuinginkan. Ada yang lancar menulis dua, tiga, empat kalimat dalam hitungan detik langsung jadi. Namun, tak sedikit juga yang diam cukup lama dan diiringi dumelan. Ah, aku tertawa kecil saja menerima keluhan tak berarti itu. Kelak mereka akan tahu mengapa aku memaksakan mereka menulis. Aku berikan waktu sekitar sepuluh menit untuk mereka menulis apa saja yang sedang ada di kepala mereka. Lagi dan lagi aku temukan pemandangan sama: ada yang ngebut nulis-ada yang menulis sambil cemberut. Teng! Waktu usai. Beberapa siswa, aku perintahkan untuk membacakan hasil tulisannya. Ada yang malu-malu. Ada yang pede. Ada yang menghasilkan satu halaman penuh. Ada yang hanya menghasilkan beberapa kalimat. Dan lucunya, ada salah satu siswa yang menuliskan demikian Pagi ini saya disuruh Miss Desti menulis. Padahal saya nggak bisa menulis. Rasanya kesal harus menulis. Pelajaran Bahasa Indonesia yang paling tidak saya suka adalah materi menulis. Kesal! .... Ya, kurang lebih kalimat itu yang aku dapatkan dari lembar tulisannya. Aku terkekeh. "Kamu tidak bisa menulis?" tanyaku. Ia memasang wajah masam lalu menjawab, "Nggak bisa, Miss." Aku simpul padanya, "Ini buktinya, kamu bisa hasilkan dua paragraf. Bisa menulis, kan?" Haaiii... ia langsung diam. Seperti di-skakmat. Belajar Sabar dengan Mind Mapping Sebagai penulis pemula, jangan coba-coba langsung bergaya di depan laptop dengan aksi tak tik tak tik lalu mogok lama dan kesal jadinya lantaran bingung apa yang mesti ditulis lagi. Sama hal yang aku pesankan pada para siswa saat materi menulis. Langkah menulis ada tiga tahapan yang mesti dipahami: prapenulisan, penulisan, dan editing. Prapenulisan meliputi penentuan tema, pencarian ide hingga membuat kerangka ide atau yang disebut dengan mind mapping. Mind mapping seperti pohon yang banyak rantingnya. Batang pohon dijadikan judul utama, sementara rantingnya adalah ide-ide yang nantinya akan dikembangkan menjadi paragraf. Satu-satu gerutu perlahan lenyap. Penjelasan demi penjelasan aku babarkan. Satu pesan yang aku sampaikan ialah sebagai penulis pemula, buatlah mind mapping. Mind mapping berguna sebagai pijakan dalam pengembangan ide. Jangan tergesa-gesa tulisan ingin selesai. Tapi berkonsep rapilah dengan adanya mind mapping. Menikmati Menulis Menulis itu asyik. Menulis itu seperti rindu pada seseorang. Bila tidak ditunaikan bertautan dengan kata, rasanya resah melulu. Hehe.... Sedikit puitis jelang senja ini. Ya, aku sampaikan, menulis itu asyik. Menikmati menulis dengan cara merampungkannya sampai usai. Itu yang aku temukan dari "pemaksaan" menulis terhadap anak didikku. Meski awalnya diwarnai gerutu, tapi ujungnya mereka asyik menulis, ya... meskipun masih butuh kosakata yang tepat untuk mewakili ekspresi marah sang tokoh, misalnya. Pintaku tidak banyak pada mereka untuk merampungkan satu tulisan. Terlebih mereka, aku kondisikan sebagai penulis pemula. Cukup minimal empat halaman dengan sistematika penulisan yang sudah dari awal aku tekankan harus begini-begitu. Kesannya, saklek! Ah, biarlah. Mengajarkan yang betul terkadang perlu diwarnai dengan keprotesan lawan bicara. Haaai.... mari kita lanjut menulis yang asyik! Tidak terasa, anak didikku terhanyut akan keasyikan menulis. Menumpahkan semua ide di layar komputer jinjingnya. Aku hanya berpesan, lalaikan dulu kaidah ejaan-tatabahasa. Tumpahkan semua imaji dan ide! Jangan takut salah tulis huruf, berantakan, dan sebagainya. Sebab setelah penulisan, ada tahapan editing yang meliputi revisi tulisan dari segi ejaan dan tatabahasa; mem-publish tulisan. Dan satu hal yang aku tekankan: Aku tidak menuntut para siswaku menghasilkan tulisan yang bagus. Tapi kerjakanlah dengan maksimal! Semoga kalimat itu menjadi penyejuk untuk terus menulis. Semoga. Menulis memang tak mudah. Menulis membutuhkan kemampuan tatabahasa dan ejaan yang baik. Sebab dengan memahami aspek-aspek menulis, setidaknya informasi yang disampaikan mudah dipahami pembaca. Ya, hal demikian pun yang selalu aku "cereweti" pada para siswa. Biarlah disebut cerewet dan banyak maunya, yang penting ihwal utama tercapai. Hingga di beberapa pertemuan, akhirnya para siswa berhasil menghasilkan tulisan meski tidak sempurna. Tulisan bagi pemula, cukup nice. Puji tak sedikit aku kucurkan untuk mereka. Ah, ternyata betul, menulis itu bukanlah titisan turun-temurun yang bimsalabim langsung diterima sang anak begitu saja. Menulis ya harus dipaksa meski ada "pemberontakan" kecil. Sebab kapan lagi menulis bila tidak sejak dini. Ya, menulis memang bukan titisan. Mempelajari, menekuni, serta mengistikamahkan diri, kuncinya. Sebab, bisa menulis bukanlah pesulap dengan mantra simsalabim. Menulis butuh proses. Selamat bermanja dengan kata.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun