Minggu ini belum habis sempurna. Baru berjalan beberapa hari saja. Tapi luar biasa, tawa dan air mata bergulir begitu cepat, silih berganti. Saling sahut. Tapi, air mata lebih banyak. Kesedihan, kesakitan, kesulitan, lebih banyak mewarnai hari di minggu ini.
Saat kesedihan melanda, ujian hadir di depan mata, saya teringat dengan almarhum Syekh Ali Jaber. Waktu beliau ditusuk oleh orang tidak dikenal dulu, apa yang beliau katakan pertama kali setelah penusukan itu?
Alhamdulillah!
Beliau mengucap syukur. Beliau memuji Allah. Beliau mensyukuri musibah, kesakitan itu.
Tidak banyak orang yang dalam kesulitan dan kesakitan diterpa musibah, masih bisa mengucap syukur di awal kejadian. Rata-rata kita manusia menjalani fase menghadapi musibah dengan mengeluh dulu, mempertanyakan nasib, memprotes Tuhan bahkan. Baru ketika sudah tidak ada energi, sudah tidak ada yang bisa berubah, kita baru membuka hati untuk menerima keadaan. Syukurnya, sadarnya, di belakang. Itu juga kalau masih ingat untuk bersyukur.
Lalu bagaimana dengan kita hari ini?
Diterpa urusan hati, diterpa masalah ini, itu, ke mana kita lari? Apa yang kita ucapkan, pikirkan dan lakukan?
Masalah yang silih berganti hadir, kesedihan yang mendalam, hati yang patah, sakit, oleh ulah orang lain, sering menjadi sebab kita ingin lari dari masalah hidup. Lelah dengan semua masalah. Bosan, capek menghadapi masalah, ingin pergi jauh rasanya.
Saya bahkan sempat terpikir untuk hidup tenang seorang diri, menepi ke pulau terpencil, saat masalah menerpa. Rasanya menyenangkan membayangkan hidup di pulau terpencil seorang diri. Menepi. Hanya menyaksikan keindahan alam.
Tapi ternyata, saya menyadari, itu hanya bentuk pelarian diri. Padahal hidup ini terlalu mengerikan dihadapi dengan pelarian. Kita butuh sikap yang gagah dalam menghadapi masalah.