Mohon tunggu...
Destia Fitra
Destia Fitra Mohon Tunggu... Lainnya - Undergraduate International Relations Student at University of Jember

Saya adalah mahasiswa S1 Hubungan Internasional di Universitas Jember. Saya memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan dan manajemen sosial media. Saya juga sangat terbuka akan hal baru yang dapat menambah dan meningkatkan skill saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Di Balik Kemiskinan Republik Demokratik Kongo

28 Maret 2024   08:33 Diperbarui: 28 Maret 2024   08:40 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring berkembangnya zaman, kapitalisasi dan globalisasi ekonomi turut berkembang. Globalisasi ekonomi pada kenyataannya merupakan istilah lain dari ekonomi pasar bebas ataupun kapitalisme global. Globalisasi berhasil membawa berbagai dampak bagi negara. Mulai dari dampak yang menguntungkan hingga dampak yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Globalisasi ekonomi dan kapitalisme mendorong persaingan pasar bebas dan ekspansi ekonomi.

Ekspansi ekonomi adalah upaya untuk memperluas skala aktivitas ekonomi. Alex S. Nitisemito (dalam Maulidya, dkk., 2023) berpendapat bahwa ekspansi merupakan strategi yang digunakan oleh suatu usaha untuk meningkatkan baik kapasitas produksi maupun jangkauan pasarnya. Ekspansi ekonomi dapat dilakukan melalui membuka cabang baru, membangun kerja sama dengan perusahaan lain, membuat produk baru, hingga melakukan peningkatan pemasaran.

Salah satu bagian dari ekspansi ekonomi adalah globalisasi tenaga kerja. Dimana suatu Perusahaan bisa menggunakan tenaga kerja negara lain yang lebih professional atau bahkan lebih murah upahnya. Maraknya ekspansi ekonomi ini ditandai dengan banyaknya Multi-national Companies (MNCs) yang mendirikan cabang anak perusahaan mereka di negara-negara lain. Beberapa MNCs mendirikan cabang mereka di negara-negara berkembang untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Sebab negara berkembang biasanya memiliki bea masuk dan tarif upah rendah. Sehingga biaya produksi Perusahaan pun dapat diminimalisir.

Sedangkan yang menjadi korban dari MNCs ini biasanya adalah negara yang kaya akan sumber daya namun, belum mampu mengolah dan memanfaatkannya dengan baik. Tak jarang, hal ini justru menimbulkan konflik dan krisis di negara tersebut. Contohnya adalah Republik Demokratik Kongo.

Republik Demokratik Kongo (RDK) adalah negara yang kaya akan mineral. Cadangan mineral ini menjadi sumber penghasilan utama di RDK. RDK terkenal dengan kobalt dan berlian yang mereka miliki. Berdasarkan data US Geological Survey (USGS), cadangan berlian Kongo mencapai 150 juta karat. Dengan jumlah tersebut RDK berhasil menempati posisi kedua sebagai negara dengan cadangan berlian terbanyak di dunia. Sedangkan pada posisi pertama ditempati oleh Rusia dengan cadangan sebanyak 650 juta karat.

Tak hanya berlian, RDK terkenal dengan kobaltnya yang melimpah. Kobalt banyak dibutuhkan dunia untuk pembuatan barang-barang elektronik seperti ponsel hingga baterai. Akhir-akhir ini, dunia tengah ramai dengan wacana green energy. Dimana berbagai perusahaan berlomba-lomba memproduksi electrical vehicle atau kendaraan listrik. Kendaraan Listrik dianggap lebih ramah lingkungan sebab tidak menghasilkan gas buang yang membahayakan. Salah satu komponen utama dalam prosuksi kendaraan listrik adalah kobalt. Tentu saja hal ini seharusnya menjadi potensi yang bagus untuk RDK. 70% kobalt di dunia didapatkan dari RDK (Council on Foreign Relations, 2020). Dengan kekayaan tersebut RDK berpotensi untuk menjadi negara terkaya di dunia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Kekayaan sumber daya RDK justru menjadi sumber masalah bagi rakyat RDK sendiri. Faktanya, rakyat RDK masih hidup dalam garis kemiskinan. Sebanyak dari keseluruhan penduduk RDK hanya mampu menghasilkan kurang dari 2 USD perhari. RDK masuk ke dalam nominasi sepuluh negara termiskin di dunia, dengan angka kemiskinan sebesar 63,9% (World Population Review, 2024).

Hal ini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah karena banyaknya perusahaan asing yang mendirikan pertambangan mereka sendiri di RDK. Jumlah pertambangan asing di RDK tak terbatas pada pertambangan kobalt. Tapi juga emas, berlian, tembaga, hingga timah. Sekitar 30% dari keseluruhan kobalt yang diproduksi RDK berasal dari pertambangan artisanal. Pertambangan artisanal adalah tambang yang dikelola oleh warga lokal tanpa campur tangan perusahaan. Jadi jenis pertambangan ini masih kurang layak untuk keselamatan pekerjanya. Sebab mereka menggunakan alat-alat gali yang masih tradisional tanpa dilengkapi perlengkapan untuk keselamatan kerja.

Beberapa perusahaan asing yang mendirikan pertambangan mereka di RDK adalah China Molybdenum Co., Ltd. (CMOC), Glencore, Freeport-McMoRan, Randgold Resources (sekarang bagian dari Barrick Gold Corporation), AngloGold Ashanti, dan perusahaan dari berbagai negara lainnya.

Perusahaan-perusahaan tersebut diproyeksikan mendapat keuntungan yang tinggi karena beberapa faktor. Seperti tingginya permintaan kobalt dan mineral lainnya hingga biaya produksi yang rendah. Upah pekerja di RDK terbilang rendah jadi biaya produksi perusahaan dapat diminimalisir.

Namun, ada beberapa risiko yang perlu dikelola oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Ketidakpastian politik di RDK menjadi salah satu faktor pemicu resiko bagi perusahaan asing. Konflik kerap terjadi dan ancaman serangan kelompok bersenjata juga perlu diwaspadai oleh perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun