Petang itu aku melihat mentari sudah mulai terbenam diujung pertumpuan tanah dan langit. Sangat merona warnanya, begitu indah hingga memberiku secercah harapan bahwa hidup itu memiliki setidaknya sesudut saja keindahan. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dibelakang perkampungan tempatku tinggal. Ditengah perjalananku kudengar suara Adzan Maghrib berkumandang meski samar-samar gemanya. Â "Wah, ini sudah Maghrib, aku harus cepat pulang !"Â
Ibu pasti akan memarahiku kalau aku telat sampai rumah. Ia khawatir kalau aku kali-kali diculik oleh tentara Jepang dan dijadikan mainannya. Aku percepat langkahku menyusuri jalan itu dibawah sinar rembulan baru yang remang. Hingga tanpa sengaja aku menginjak sesuatu, sesuatu yang aneh. Tapi aku tak mau menghiraukannya, aku harus segera sampai atau tidak Ibu akan khawatir.
Saat itu, aku sudah sebentar lagi sampai ke kampungku, menyelesaikan jalan setapak ketika aku mendengar suara gesekan rerumputan yang bunganya mulai mengering, seakan seseorang mengikutiku. Aku menoleh kebelakang, memastikan tidak ada orang yang mengikutiku, takut aku jika itu benar tentara Jepang.Â
Pantas saja aku takut, karena Mardiyem, teman mainku baru saja pekan lalu hilang yang jika didengar berita burungnya, ada yang melihat ia bersama tentara Jepang dengan raut muka terpaksa dan pakaian tak pantas. Memang pakaian kami semua tak pantas, tapi pakaian tak pantas yang dikenakannya memiliki makna berbeda.
Akhirnya aku sampai di rumahku, yang sudah menggubuk dan rusak akibat terkena dampak serangan udara bulan lalu. Aku memanggil Ibu, tapi tak ada juga suara yang menyambut panggilanku. Jantungku semakin berdebar, takut justru malah Ibu yang ikut pergi dibawa oleh tentara Jepang untuk dijadikan seperti Momoye, panggilan tentara Jepang kepada Mardiyem.Â
Tak heran jika ia diambil tentara, karena elok tubuhnya meski sudah memperanak aku dan abangku. Itu karena ia begitu rajin melatih tubuhnya sembari bekerja kepada saudagar Belanda. Aku mencarinya ke bilik tempat ia biasa tidur, dan disitulah aku mendapati Bapak, terduduk diam dengan tatapan kosong.
"Bapak, ada apa?!" tanyaku.
Bapak hanya terdiam.
"Bapak terluka lagi? Karena dipukul tentara Jepang lagi? Kalau iya, biar aku obati dengan obat yang tersisa kemarin," kataku.
Bapak tak kunjung menjawab pertanyaanku, aku langsung berjalan ke lemari, mencari obat saleb yang sudah hampir habis, hingga aku beri air supaya tak mengering. Memang susah sekali mendapat salep luka pun semenjak kedatangan Jepang. Dapat pun sudah sangat bersyukur, kalau tidak aku harus ke hutan mencari dedaunan obat. Aduh, perban sudah habis. Aku harus korbankan bajuku yang dari karung goni ini untuk luka Bapak.
Begitu aku kembali ke ruangan itu, dibawah remangnya cahaya sumbu, aku bisa lihat setetes air mata di pipinya.