Kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, telah menjadi sorotan publik. Pada 29 Oktober 2024, Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton kepada PT AP pada tahun 2015. Padahal, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian pada 12 Mei 2015, Indonesia dinyatakan mengalami surplus gula dan tidak memerlukan impor tambahan.
Analisis Kebutuhan Impor Gula di Indonesia
Meskipun Indonesia merupakan negara agraris, produksi gula domestik sering kali tidak mencukupi kebutuhan nasional. Faktor-faktor seperti produktivitas lahan yang rendah, pabrik gula yang usang, dan efisiensi produksi yang kurang optimal menyebabkan ketergantungan pada impor gula. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Indonesia mengimpor gula sebanyak 4,6 juta ton, terdiri dari 3,6 juta ton gula mentah untuk industri rafinasi, 991.000 ton gula kristal putih, dan 50.000 ton gula untuk kebutuhan khusus.
Jumlah Impor Gula yang Wajar Berapa sih?
Menentukan jumlah impor gula yang wajar memerlukan analisis mendalam terhadap produksi domestik, konsumsi nasional, dan cadangan gula yang ada. Pemerintah menargetkan swasembada gula pada tahun 2028. Namun, hingga saat ini, impor masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi masyarakat. Sebagai contoh, pada tahun 2024, pemerintah memutuskan untuk mengimpor 5,4 juta ton gula, dengan alokasi 708.609 ton untuk gula konsumsi dan 4,77 juta ton untuk bahan baku industri.
Pertanyaan saya berikut nya adalah, Apakah pernah Indonesia surplus gula?
Setelah mencari data-data, saya temukan bahwa Indonesia itu memang memiliki sejarah panjang dalam industri gula. Pada masa kolonial hingga awal kemerdekaan, Indonesia pernah menjadi salah satu produsen dan pengekspor gula terbesar di dunia. Pada era tersebut, Indonesia mengalami surplus gula, di mana produksi nasional melebihi konsumsi domestik, sehingga kelebihan produksi dapat diekspor ke negara lain.
Namun, seiring berjalannya waktu, produksi gula dalam negeri mengalami penurunan akibat berbagai faktor, seperti:
- Usia pabrik gula yang tua: Banyak pabrik gula di Indonesia yang telah beroperasi sejak zaman kolonial dan belum mengalami modernisasi yang signifikan.
- Produktivitas lahan yang menurun: Degradasi lahan pertanian dan konversi lahan tebu menjadi lahan non-pertanian mengurangi luas dan kualitas area penanaman tebu.
- Persaingan dengan komoditas lain: Petani lebih memilih menanam tanaman yang dianggap lebih menguntungkan daripada tebu.
- Kurangnya investasi dalam teknologi pertanian dan infrastruktur pendukung industri gula.
Akibatnya, sejak beberapa dekade terakhir, Indonesia lebih sering mengalami defisit gula, di mana produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dan industri, sehingga impor gula menjadi pilihan untuk memenuhi kekurangan tersebut. Kemudian Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai swasembada gula, antara lain:
- Revitalisasi pabrik gula: Modernisasi dan peningkatan kapasitas pabrik gula untuk meningkatkan efisiensi produksi.
- Ekspansi lahan tebu: Membuka lahan baru dan mendorong petani untuk menanam tebu.
- Peningkatan produktivitas: Menggunakan varietas tebu unggul dan teknologi pertanian modern.
- Kebijakan proteksi: Mengatur impor gula agar tidak merugikan petani dan produsen gula dalam negeri.
Meskipun demikian, tantangan masih ada, dan hingga batas pengetahuan saya pada September 2021, Indonesia belum secara konsisten mencapai surplus gula dalam beberapa tahun terakhir. Impor gula masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasional, terutama untuk industri makanan dan minuman.