[caption id="attachment_191279" align="aligncenter" width="450" caption="azrur-rusydi.net"][/caption]
Bisa dibilang saat S1 saya adalah mahasiswi rata-rata, ya mahasiswi yang mengandalkan orang tua sebagai sumber biaya. Karena saya pure mahasiswi, saya merasa ga mengalami kesulitan untuk lulus, akhirnya tahun 2009, di semester ke 7 saya lulus dari universitas saya dengan predikat sarjana. Setelah lulus, orang tua saya menyarankan saya untuk langsung ambil S2 di jurusan yang linier, namun pada kenyataannya saya diterima bekerja di salah satu perusahaan manufacturing sebagai anak MT alias Management Trainee.
Dunia kerja bagi saya sungguh menarik, semua berjalan secara dinamis, disiplin, penuh “brainstorming” yang sehat, adu argumen yang profesional, dan disini saya mendapatkan banyak hal yang ga saya dapat di bangku kuliah maupun organisasi. Target serba terukur, dan ga semua berjalan semudah teori.
Karena keasikan dengan dunia kerja, saya pun rela menunda kuliah S2 seperti komitment saya terhadap orang tua. Hingga setahun setelah bekerja, saya harus memenuhi janji saya kepada orang tua untuk melanjutkan studi. Tetapi hambatan nya adalah tentu saja saya ga bisa mengambil jurusan linier karena saya hanya bisa kuliah setelah jam kerja. Saya melanjutkan ke jurusan management di universitas yang sama.
Di semester 1, kuliah sambi kerja memang tidak ada masalah, saya belum mengalami kesulitan. Tapi setelah semester satu berjalan, maka management diri yang baik sangat diperlukan untuk bisa sejalan semuanya. Keteteran dimana-mana itu ga bisa dihindari, rasanya stress banget, saat meeting kantor saya teringat tugas kuliah, saat kuliah teringat bagaimana besok presentasi project-project kantor di depan klient atau atasan, wah dunia terbalik-balik rasanya.
Bisa tidur 4 jam dalam semalam adalah anugerah, sering kali ngerjakan tugas sampai pagi sambil nggerundel, capek, ketiduran di meja 15 menit sudah harus siap-siap ke kantor. Mata ngantuk abis nangis, sayu capek udah jadi pemandangan yang cukup sering. Belum lagi, saat abis gajian pasti harus menyisihkan beberapa bagian untuk bayar uang kuliah, ya sekalipun orang tua saya sebenernya sangat baik dan ga lepas tangan, saya ingin mencoba mandiri dalam hal finansial setelah bekerja, termasuk membiayai kuliah sendiri.
Baru saya sadari kalau nyari uang itu ga mudah. Ternyata setelah kuliah sambi kerja saya dapat satu point yang berharga bahwa finance harus di manage sebaik mungkin, yang mana untuk pendidikan, yang mana untuk masa depan, yang mana yang bisa digunakan untuk sehari-hari dan sedikit menghibur diri. Ini point yang ga saya punya sewaktu masih jadi mahasiswi murni, rasanya dulu uang tinggal minta, tinggal dihabisin, kalau habis minta lagi.
Ilmu Kuliah Bisa Diterapin di Dunia Kerja?
Kata siapa kuliah lagi itu hanya untuk menaikkan gaji dan pangkat, sedangkan ilmunya ga kepake di dunia kerja, justru bagi saya, keduanya saling melengkapi. Tujuan awal kuliah jangan sampai cuma untuk meningkatkan karier karena itu akan membuat kuliah kita menjadi asal-asalan. Kuliah pastinya yang kita butuhkan adalah ilmunya, tak hanya gelar semata. Kuliah dan pekerjaan itu bersinergi, dengan bekerja setidaknya kita jadi lebih tau tentang fakta-fakta di lapangan, ga semua berjalan selancar teori, jadi saat dosen menerangkan kita ga cuma jadi pendengar tapi bisa saling diskusi, dan sharing tentang keadaan di lapangan saat menggunakan metode yang diterangkan oleh dosen, bahwa ada kendala seperti ini , jadi nanti mengatasinya seperti apa. Intinya kita bisa saling mencari solusi, masalah kantor adakalanya solusinya di dapat dari kampus, dan sebaliknya soal-soal di kampus itu menjadi ga “sekedar soal” karena kita merasakannya sendiri di lapangan. Maksud saya ga sekedar soal, adalah lebih nancep ke pikiran kita, ga cuman jadi materi teori yang asal lewat.
Point yang ketiga, keuntungan yang saya dapatkan adalah dalam mengerjakan tugas akhir, kita bisa mengambil judul dan bahan-bahan dari kantor, tentu saja dengan seijin atasan dan yang ga menyangkut rahasia perusahaan. Kita bisa menyebar kuesioner di perusahaan, mengambil kasus di perusahaan sebagai bahan tesis kita. Ini tentu saja aksesnya lebih mudah daripada kalau kita jadi mahasiswa biasa. Seperti yang saya alami saat S1 dulu, untuk PKL saja saya harus menyebar ke puluhan perusahaan, dan hanya 2 yang mau mewawancarai saya, nah dengan menjadi karyawan, semuanya berjalan lebih mudah, begitu juga akses-akses data nya ke departemen-departemen terkait.
Tentu saja dibalik semua itu, kerja keras itu sangat dibutuhkan. Kita harus kuat mental dan fisik bekerja seharian, selanjutnya kuliah sampai malam, harus pandai memanage waktu, saat di kantor harus benar-benar memikirkan pekerjaan dan saat di kampus harus benar-benar fokus ke akademis supaya ga saling overlapping dan ujung-ujungnya membuat saya ga fokus seperti awal-awal kuliah.
Kita harus rela kerja lebih keras daripada “sekedar karyawan” atau “ sekedar mahasiswa”, kita harus rela menyisihkan uang untuk pendidikan, menahan sementara seneng-seneng yang saya inginkan, adakalanya perasaan capek , ga cuma capek fisik, tapi capek hati dan mental itu datang, dan tentunya air mata juga...haha...tapi semua harus kita lawan, dan kembali ke tujuan awal kita semula, bahwa kita ingin sukses di keduanya. Dan akhirnya sekarang saya sudah di tahap akhir, tinggal ujian. Doakan lancar yaa. Semoga ilmu akademis yang saya dapat ga cuma jadi sarana mencapai gelar tetapi juga bisa di aplikasikan di dunia kerja.
Jadi buat yang kuliah sambi kerja, tetap semangat. Kesulitan ga akan ada yang sia-sia. Semua akan menjadi pelajaran dan membuat kita lebih tuff.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H