Kualitas udara yang buruk menjadi isu yang hangat diperbincangkan di seluruh dunia. Pasalnya, meningkatnya aktivitas antropogenik mendorong pertambahan emisi gas rumah kaca yang dapat menimbulkan berbagai pengaruh negatif pada kualitas udara, serta berdampak terhadap kenyamanan, kesehatan manusia, maupun lingkungan. Di Indonesia sendiri, kualitas udara yang buruk menjadi permasalahan yang kompleks di berbagai kota-kota besar dengan penduduk yang padat. Dikutip dari World Resources Institute (WRI), faktanya Indonesia berada pada 10 besar, tepatnya peringkat ke-9 negara penyumbang emisi gas rumah kaca global terbanyak di dunia. Sejak tahun 1990, diketahui bahwa sektor yang paling menonjol dan berkembang paling cepat sebagai sumber emisi gas rumah kaca adalah dari proses industri, listrik dan pemanas (sub sektor energi), dan transportasi. Sektor transportasi termasuk salah satu penyumbang emisi yang cukup besar. Bahkan, Nurdjanah (2015) menyatakan emisi kendaraan bermotor berkontribusi mencapai 70% terhadap pencemaran udara meliputi Oksida-oksida Nitrogen (NOx), THC (Total Hidrokarbon), TSP (debu), Karbon Monoksida (CO), Karbon Dioksida (CO2), Oksida-oksida Sulfur (SOx), dan Partikulat (PM) di perkotaan besar. Melalui aktivitas dari penggunaan kendaraan bermotor di wilayah perkotaan yang tak terkendali ini, zat pencemar udara yang berlebihan dapat terlepaskan dan dapat menurunkan kualitas udara.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan transportasi menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat melakukan aktivitas maupun bermobilitas dari suatu tempat ke tempat lain. Secara umum, jenis sistem transportasi manusia dapat dibedakan menjadi dua, yakni transportasi publik dan pribadi. Transportasi publik adalah layanan angkutan perjalanan untuk penumpang secara berkelompok yang disediakan, dikelola, maupun dioperasikan sesuai rute dan jadwal yang telah ditetapkan untuk masyarakat umum, serta dikenakan biaya untuk setiap perjalanannya. Contoh dari transportasi umum adalah bus, kereta api, pesawat terbang, angkutan kota, dan lain-lain. Sedangkan transportasi pribadi merupakan lawan dari transportasi publik yang merupakan angkutan perjalanan dengan menggunakan kendaraan milik pribadi, seperti sepeda, mobil pribadi, sepeda motor, dan lainnya.
Tentunya masing-masing jenis kendaraan bermotor memiliki kelebihan dan kekurangannya. Misalnya, transportasi umum memiliki kelebihan diantaranya adalah dapat mengurangi kemacetan, lebih efisien bahan bakar, dapat mengangkut lebih banyak orang, serta lebih nyaman dan bisa bebas bergerak. Namun, cenderung tidak fleksibel karena terpaku rute dan jadwal, mengeluarkan biaya, maupun belum tentu memiliki fasilitas yang lengkap atau dalam kondisi baik. Di lain sisi, kelebihan dari kendaraan pribadi adalah lebih fleksibel dalam waktu, rute, dan kendali, serta kekurangan dalam memerlukan lahan atau tempat parkir, memiliki lebih sedikit ruang angkut, lebih boros energi dan materi, serta menghasilkan polusi udara lebih besar. Â Seiring perkembangan zaman yang cukup pesat, berbagai inovasi di bidang transportasi banyak dihasilkan, dimana transportasi publik digadang-gadang menjadi solusi isu pencemaran udara di daerah perkotaan. Akan tetapi, masih muncul dilema apakah transportasi publik benar-benar dapat menjadi pengurang beban pencemaran udara perkotaan ataukah malah sebaliknya.
Isu Pencemaran Udara di Perkotaan Besar Indonesia: Jakarta dan Surakarta
Perkembangan pesat perkotaan di Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan yang timbul di dalamnya, termasuk Kota Jakarta. Jakarta sempat menempati posisi ke-2, kota dengan kualitas udara terburuk pada hari Kamis (16/06/2022) dengan nilai indeks kualitas udara mencapai 156 atau dalam kategori tidak sehat. Data tersebut diperoleh dari situs IQAir bersumber dari berbagai stasiun pemantauan kualitas udara baik milik instansi pemerintah maupun Non Government Organization (NGO) seperti Greenpeace. Sama halnya dengan Jakarta, Kota Surakarta juga menjadi salah satu kota besar di Indonesia yang masih berkutat dengan permasalahan pencemaran udara. Indeks kualitas udara (IKU) Surakarta pada Kamis (07/07/2022) tertinggi mencapai angka 162, atau termasuk kategori tidak sehat, namun nilai IKU di hari itu masih dalam kategori sedang. Sementara indeks kualitas udara di Jakarta pada hari yang sama, indeks kualitas udara tertinggi mencapai angka 201 atau termasuk kategori sangat tidak sehat, dengan IKU harian tidak sehat bagi kelompok sensitif. Pencemaran udara yang terjadi disebabkan karena berbagai aktivitas yang ada seperti kegiatan industri, mobilitas penduduk yang menggunakan kendaraan bermotor, dan aktivitas lain yang menghasilkan emisi ke udara.
Indeks kualitas udara harian di Surakarta (kiri) dan di Jakarta (kanan) pada Kamis (7/7/2022).
Sebagai kota besar, Jakarta maupun Surakarta, memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat dan diiringi dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang tak kalah pesat. Gas buangan yang dihasilkan dari mesin kendaraan memiliki kandungan zat berbahaya seperti Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NOx), dan Hidrokarbon (HC). Akumulasi dari zat-zat emisi kendaraan tersebut diketahui berpotensi merusak lingkungan dan dapat membahayakan kehidupan. Melalui laporan kualitas udara yang diperoleh dari  situs web Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dalam kurun waktu Januari - Maret 2022, kualitas pencemaran udara termasuk dalam kategori sedang hingga tidak sehat. Parameter kualitas udara yang paling kritis dalam periode tersebut ialah PM 2.5, PM 10, SOx, dan O3, dimana zat-zat polutan tersebut dapat terbentuk sebagai akibat dari pembakaran bahan bakar selama operasional kendaraan bermotor.
Pengawasan ketat telah dilakukan pemerintah dalam rangka mengurangi potensi bahaya dari aktivitas kendaraan bermotor, salah satunya melalui penerapan kebijakan uji emisi untuk mengetahui kelayakan kendaraan. Namun kebijakan tersebut dinilai masih kurang efektif dalam mencapai tujuan transportasi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Jumlah kendaraan bermotor yang begitu melimpah menyebabkan emisi yang dihasilkan masih besar. Solusi yang dapat ditarik dari permasalahan tersebut adalah mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi agar emisi yang dihasilkan lebih rendah. Terdapat beberapa opsi yang dilakukan pemerintah di Jakarta, salah satunya dengan menerapkan plat nomor ganjil genap, dimana ketika plat nomor tertentu tidak dapat beroperasi, maka harapannya masyarakat akan beralih menggunakan transportasi publik. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah telah melakukan pembangunan infrastruktur transportasi publik yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Pengurangan jumlah kendaraan yang berlalu lalang ini diharapkan mampu mengurangi emisi yang dihasilkan setiap harinya.
Perbandingan Transportasi Publik di Jakarta dan Surakarta