Kehidupan menjdi seorang mahasiswa tak lekang dengan proses pembelajaran, baik dikelas maupun diluar kelas. Proses belajar mahasiswa tentu nya memiliki berbagai varian metode yang berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Dari segi membaca buku maupun dalam mengemukakan pendapat. Dari berbagai pengucapan kata "mahasiswa", artinya kita lebih unggul dari siswa tanpa adanya maha. Unggul yang dimaksud disini ialah pola pikir, aktivitas berpikir, cara belajar, cara berbicara, cara memperlakukan orang lain, dan tak juga ketinggalan ialah kritis terhadap peristiwa-peristiwa faktual dalam kehidupan nyata. Ada apa dengan wajah mahasiswa yang selalu mengangguk tanpa menggelengkan kepala sama sekali? Ada apa dengan wajah mahasiswa yang menelan informasi tanpa mengunyah terlebih dahulu? Ada dengan wajah mahasiswa? Ada apa? Kenapa tidak berani menggelengkan kepala? Kenapa tidak mengunyah terlebih dahulu? Kenapa? Takut? Takut direpresi? Atau takut dengan persoalan ancaman nilai akademik? Atau memang mahasiswa hakikatnya hanya berangkat, menganggukkan kepala dalam proses pembelajaran berlangsung tanpa mengunyah, lalu pulang. Atau sederhananya kupu-kupu (baca: kuliah pulang-kuliah pulang). Wajah mahasiswa harus dirubah dengan pola pikir yang berbeda, matang, kritis, dan berani menggelengkan kepala untuk mengawali sebuah pertengkaran pikiran, baik di dalam kelas maupun diluar kelas. Itu fungsi menyandang gelar mahasiswa, dan itu juga hakikat mahasiswa untuk mendayagunakan pikirannya. Apakah mahasiswa hanya datang, duduk tanpa membuka peluang untuk berdiskusi? Lalu apa bedanya dengan benda mati (patung)?o Mengingatkan saya sebagai penulis artikel ini dengan dosen filsafat saya, yaitu bapak Dr. Bambang Parmadi, M.Sn. Yang dimana beliau selalu mengaktifkan pikiran-pikiran yang begitu mendalam waktu semasa dikelas. Beliau pernah berkata "jangan seperti patung, saya masuk disini ingin mengajar manusia, bukan patung" kira-kira seperti itulah beliau berkata dengan saya dan teman-teman kelas saya. Artinya apa? Kita sebagai manusia dengan segala kelebihan yang di anugerahi akal dan pikiran untuk berani mengaktifkan kembali hakikat fungsi manusia. Mengaktifkan pikiran-pikiran kita untuk merefleksikan kembali pengetahuan yang kita miliki. Bukan sekadar tahu, tapi mempertanyakan. Bukan sekadar menguasai, tapi mengaplikasikan di kehidupan nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H