"Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar."
Petikan di atas adalah pidato Nadiem Makarim dalam memperingati Hari Guru.
Saya sendiri guru gadungan.
Saya tidak pernah mendapat pendidikan keguruan baik lokal maupun internasional. Saya hanya 'kejeblos' masuk ke dunia pendidikan waktu bekerja sebagai desainer grafis di sebuah sekolah. Dari mengajar komputer, beralih jadi asisten guru, sampai akhirnya malah jadi shadow teacher, semuanya saya jalani bukan di sekolah murni lokal. Jadi, saya tidak terlalu berani mengkritik sistem sekolah lokal, walaupun merasa tanda-tandanya mirip dengan pidato Makarim. Bukan karena saya paham sistem pendidikan luar dan dalam, tetapi karena melihat perilaku murid kita.
Selama saya bekerja dengan murid asing atau murid lokal tapi di sekolah asing, saya merasa mereka punya antusiasme dalam belajar. Mereka tidak malu kalau memang belum paham, juga tidak segan bertanya untuk menggali topik. Ini anak SD, lho. Mereka juga menerima kritik dari kelas 1 SD dan menerimanya dengan baik. Jadi, berpikir kritis sudah dibiasakan dari kelas satu.
Sekarang saya lagi senang-senangnya balik ke dunia menulis. Sekali-sekali saya bagi tip mengarang. Kadang malah buka kelas mengarang online. Satu kali, saya buka gratis untuk remaja. Yang ikut banyak, tetapi dengan cepat menjadi kelas yang pasif. Mereka tidak berpartisipasi dalam diskusi. Ada, tetapi senyap.
Sikap pasif ternyata bukan saya saja yang mengalami. Ada mentor bidang lain yang juga mengeluhkan hal yang sama. Padahal pelatihan yang dia beri itu berbayar.
Di waktu lain, saya suka memberi kritik terbuka untuk pengarang muda dan amatiran. Reaksinya? Wow. Mulai dari memaki sampai mempertanyakan, "Emang kamu udah nulis apa?". Beda sekali dengan grup-grup luar yang malah mencari kritikan.
Setelah membaca banyak berita tentang kekerasan yang dialami guru, saya seharusnya bersyukur hanya dimaki dan ditantangin lalu berhenti jadi kritikus sadis. No. Barusan saya cuma bersatir. Saya tidak perlu berhenti. Kewajiban saya untuk memberi tahu menulis yang benar itu seperti apa dengan apa adanya. Toh, di dunia kerja nanti, mereka akan dibombardir kritik oleh bos dan klien. Terus, mau bilang, "Emang kamu tahu apa?". Â
Saya rasa mentalitas antikritik terbentuk karena kepasifan. Jika kelas hanya jadi tempat untuk mencekoki, saya rasa ini hasil nyatanya. Saya sadari juga budaya kita menabukan kritik. Kritik dianggap sebagai penistaan, usaha mempermalukan di depan publik, perundungan sehingga mengkritik sama dengan menghina. Bukan cuma murid zaman sekarang, saya pun punya masa-masa buruk takut kritik.
Saya setuju dengan Makarim, sudah saatnya kelas bukan hanya jadi tempat mendengar. Murid harus memiliki keterampilan berpikir kritis, berbicara, mendengar, dan moral. Dengan begitu, mereka punya bobot bicara. Bukan debat kusir. Bukan omong kosong. Mereka juga membangun mentalitas. Bukan jadi defensif karena kritik lalu marah, kejang, dan nantangin pengkritik. Seringkali orang marah terhadap kritik malah karena salah memahami teks atau ucapan. Jadi, mendengar dan mengolah pesan, penting dikuasai oleh murid. Moral membantu murid untuk memiliki simpati dan empati saat mengemukakan pendapat. Semoga ke depannya tidak ada lagi murid yang memaki atau bertanya, "Emang kamu tahu apa?" dengan bekal moral.