Dahulu, mereka berjanji akan saling bunuh jika bersilang temu. Sekarang mereka saling temu pandang tanpa saksi. Dulu, ratusan tahun yang lalu, mereka saling libas, memperebutkan wanita. Oh, masih muda mereka saat itu. Kini, mereka tampak matang, belum tua benar. Namun, didihan kebencian menjadikan mereka muda.
Perempuan kecintaan mereka telah lama mati. Konon, mati karena kedua pria ini. Mati karena cinta, entah indah atau tolol didengar. Perempuan yang manusia itu kemudian lebur menjadi angin yang sampai di Bumi. Debu jejaknya menjadi tanah. Namun, dia sendiri di dunia itu. Hantunya masih meratapi cinta.
Kedua pria dewata itu tak pernah mengunjunginya di Bumi. Sakit hati pada masa lalu, pertemanan mereka bubar dan membelakangi mata angin. Memang beratus tahun sudah lewat dan akhirnya mereka bertemu lagi. Di genggaman, pedang berkilau dengan api dan es, menciptakan ilusi asap putih.
Tak sibuk saling menyombong, masing-masing langsung menerjang. Tak ada teriakan gelora kemenangan. Ini soal kehormatan. Yang hidup bukan yang meracuni perempuan itu.
Satu tebasan.
Satu ambruk. Satu ambruk. Duduk lalu jatuh.
Kematian atas kejahatan telah ditebus dengan darah. Darah itu pekat, meluncur deras menjadi semesta ruang. Pedang-pedang mereka pecah menjadi bintang-gemintang. Bumi tak lagi sendirian. Kini angin dan debu tanah bisa menatap langit yang kelap-kelip.
Cinta itu darah, pikir perempuan itu sebelum mati ratusan tahun yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H