Gadis itu tidak terlalu cantik menurutnya. Dia bahkan tidak ingat bagaimana mereka pertama kali bertemu. Di kampus atau di toko buku. Seperti itulah. Namun, dia selalu ingat pada kulit agak sawo yang mengilat karena keringat di bengkel kayu kampus.Â
Dia ingat bagaimana serbuk kayu tersebar di rambut gadis itu. Dia ingat bagaimana gadis itu senang melamun dan hampir tiap kali ditanya apa yang ia pikirkan, jawabannya cuma satu kata: kursi.
Dia tidak tahu mengapa gadis itu terobsesi dengan kursi. Mungkin keturunan Dewa Kayu. Padahal, yang punya nama kayu itu dirinya. Damar. Meski namanya begitu, ia tak pernah merasa Dewa Kayu menyentuh kehidupannya, meski cuma sekali. Juga, tak seorang pun di rumah yang bisa bertukang.Â
Jangankan memotong kayu, mengelem pipa pun tak ada yang pernah melakukannya di rumah. Semua tangan terpelihara karena tanpa tangan dan jari-jari mereka yang terampil, mereka bukan keluarga Dokter Suar.Â
Begitu penting bagi keluarganya memelihara jari mereka tetap sensitif. Bahkan, bukan rahasia bahwa mereka mengasuransikan jari. Ya, sepuluh jari tangan itu diasuransikan satu demi satu.
Tentu saja kecuali Damar. Damar bukan dokter dan tidak memiliki keterampilan medis sama sekali, seperti bukan anggota dinasti Suar. Dia lebih tepat disebut duri, sepetak kudis yang menggerogoti nama Suar. Dulu  memilih kuliah ekonomi yang lulusannya bejuta-juta, tapi akhirnya dia susah cari kerja.Â
Namun, tak seorang pun di rumahnya peduli, padahal Damar sudah tiga kali ganti kantor. Dalam keluarga Suar, yang tidak memiliki lisensi medis tidak akan dianggap.
Mari kita sedikit bicara tentang keluarga Suar. Keluarga ini terdiri dari lima orang. Bapak, ibu, dan tiga anak laki-laki. Damar anak tengah dan satu-satunya yang belum kawin.Â
Ibunya dulu perawat yang lebih berspesialisasi dan ikut dalam pembedahan. Ayahnya spesialis jantung. Kakaknya dokter anak. Istrinya dokter gigi. Adiknya dokter kulit. Istrinya dokter bedah kecantikan.
Damar tidak pernah tertarik pada dunia kedokteran, mungkin karena dari kecil sudah ditanamkan pentingnya hidup sebagai dokter. Tentu sebagai bocah ia manggut saja dengan segala doktrin yang dijejal ke kepalanya. Namun, setelah bisa berpikir untuk dirinya sendiri, ia tahu dunia mulia itu bukan untuknya. Keputusannya kuliah di jurusan ekonomi ditentang habis oleh orang tua. Namun, mereka membiarkannya kuliah di sebuah universitas elit yang gedung jurusan ekonominya hampir bersebelahan dengan gedung jurusan desain.
Sudah biasa bagi mahasiswa kedua jurusan itu saling kenal. Di antara kedua gedung ada sebuah kafetaria yang sering menjadi basis pertemuan antarjurusan. Damar tidak ingat. Mungkin saja pertemuannya pertama kali dengan gadis itu terjadi di sana.
+++