Denging mendering di telinga. Ia menatap sekeliling di tengah adrenalin yang terpompa. Kabut asap dan bau api membumbung. Segala-gala berantakan. Hangus atau sedang terbakar. Ada jeritan entah di mana. Ada orang berlari. Ia ingat seperti dilempar, entah oleh apa. Gaib. Mungkin.
Sekali lagi ia menatap sekeliling. Namun, tidak nyaman dalam keadaan telungkup, pelan-pelan ia bangkit. Ia melihat langit terang, di sudut sana. Apinya menggapai langit.
"Kau tak apa-apa?" Seseorang bertanya, membantunya berdiri.
Orang yang lain mengambil foto.
"Apa yang terjadi?" Ia balas bertanya.
"Gedung itu meledak."
Ia mencoba membaca bibir si penjawab. Namun, dering di telinganya masih keras menutupi.
Wajahnya terpampang keesokan harinya di sebuah surat kabar. Putih, parasnya celemotan berlapis debu. Ada darah lengket di pelipis. Matanya nanar. Bajunya kotor dan bernoda merah gerap, tercetak sporadis. Ekspresinya menangkap tarian api. Disorientasi. Ketersesatan. Horor.
***
Setelah memberi bantuan, gadis-gadis melekat di tubuhnya simbol agama dan logo kelompok sosial itu pergi ke lokasi ledakan.
Ini hari kedua setelah gedung itu hancur, setelah delapan puluh orang tewas. Sisa-sisa anyir masih mengambang di antara karbon dioksida. Garis kuning polisi membentang lurus-lurus menjegal orang masuk. Petugas forensik masih wara-wiri dengan koper ajaib mereka.