Apa? Kau mau memukulku? Sini! Coba pukul! Ayo, sini! Kan? Ngomong doang. Olahraga saja tak pernah, sok kuat.
Lain waktu ia membandingkan.
Coba kamu seperti istri si Jef. Cantik, keren, bisa ngurus rumah. Aku benar-benar salah cari istri deh, kayaknya. Apa aku perlu kawin lagi? Atau sewa pembantu? Kamu yang bayar, ya? Eh, tapi kamu tak punya duit, ya? Hahaha, ya iya lah. Kerja di rumah saja tak bisa, mana pantas kerja kantoran.
Tak perlu buru-buru menganggapnya psikopat. Psikopat tidak seperti ini. Kau tahu pria seperti ini pria apa? Perundung. Mental perundung. Padahal dulu ia tidak seperti itu. Mungkin, ia pandai menutupinya.
Memang tubuhnya tak pernah tersakiti. Namun, seperti kertas remuk, perasaannya yang sudah tergores tak akan pernah hilang bekas. Dari goresan kecil-kecil itulah monsternya terbentuk. Satu-satu saling mengait, membentuk ikatan yang kuat. Ia tak lagi memikirkan rasa sakitnya, tetapi bagaimana membalasnya.
**
Wajahnya tetap tenang. Sesekali tatapannya beralih ke jendela, seolah-olah ada yang tersangkut di sana.
Mungkin monster-monster itu menunggu di sana.
Di sela jawabannya, tiba-tiba ia tercenung. Ingatannya melompat ke masa kecil ketika ia benci dengan keributan orang tua di rumah dan mencari kesenangan di sekolah. Namun, tak ada yang menyenangkan. Ia merasa lemah, tak berdaya untuk melerai pertikaian yang semakin sering. Ia benci anak-anak lain yang bahagia. Tak adil.
Saat menemukan anak-anak yang lemah ia semakin benci. Ia benci setengah mati. Pelan-pelan ia mulai menyakiti mereka dengan kata-kata. Semakin lama, semakin kuat ia merasa.
Kata-kata itu sihir yang nyata.
Namun, kejadian itu sudah lama sekali. Mengapa bisa lupa? Ia tak tahu. Mungkin pada akhirnya ia merasa perbuatan itu tak benar. Mungkin juga ia menganggap tak perlu lagi diingat. Toh, sudah begitu lama.
Ditatapnya jendela lekat-lekat. Ia tidak menemukan monster di sana. Yang ia lihat bayangan dirinya sendiri. Perundung yang bangkit dari mati suri.