Mohon tunggu...
Dessy Wardhani
Dessy Wardhani Mohon Tunggu... -

Happy mother of 4 wonderful kids\r\n - Life-learner\r\n- Dreaming to travel around the world

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menulis Sebagai Terapi

30 Juni 2012   16:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:23 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca posting mas Erri Subakti yang menyebutkan dirinya "recreational writer", mungkin saya termasuk salah satu diantaranya. Saya menulis di kompasiana lebih sebagai sarana 'pelepasan isi hati'. Saya mendapatkan kelegaan setiap selesai memposting tulisan. Meski selalu diniatkan untuk memberi manfaat untuk yang membaca, saya tidak berpikir tentang berapa banyak orang yang akan membaca atau mengomentari tulisan saya. Merasa lega, plong, that's it... Jika ada yang mengapresiasi secara khusus, saya anggap sebagai bonus saja...

Untuk saya, menulis lebih mirip dengan men-defragmented ruang dalam memori otak.  Mirip dengan prinsip kerja defrag di PC kita. Defragmented berfungsi untuk  menyusun file dalam memori agar menjadi susunan yang lebih teratur, terorganisasi, sehingga lebih mudah dicari. Selain itu juga untuk menyisakan lebih banyak tempat untuk menyimpan memori baru.

(Lihat ilustrasinya di http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d0/FragmentationDefragmentation.gif)

Rak memori  mirip dengan lemari pakaian. Sama-sama berfungsi untuk menyimpan, tapi agar mereka bisa berfungsi baik, mesti rajin-rajin dirapikan. Lemari yang rapi, rak buku yang disusun berdasarkan abjad, akan memudahkan siapapun untuk mengaksesnya. Begitu juga dengan memori kita; semakin rapi, dia akan bekerja lebih cepat, lebih efektif dan lebih cerdas. Sebaliknya memori yang agak amburadul penataannya, akan menghasilkan kelemotan, susah mikir dan yang paling gawat: sumbu memendek, mudah meledak..

Orang seperti saya, jika berbicara verbal dalam situasi low-bat, cenderung senang mengeluarkan kalimat-kalimat panjang. Mau bilang marah saja, harus lebih dahulu berbicara tentang latar belakang, masih pula menjabarkan identifikasi permasalahan. Akibatnya, sebelum sampai ke poin-nya, yang mendengarkan sudah bosan; atau malah menangkap maksud yang berbeda. Yang paling parah, akhirnya dianggap suka 'ngomel'. Dengan menulis, saya belajar untuk membuat jalur pintas. Saat hati penat, dan bertemu dengan ide yang cocok dengan kepenatan hati saat itu, melalui menulis, saya merapikan memori. Menulis membuat saya mampu memahami latar belakang kepenatan hati, mengidentifikasi apa bentuk ketidaknyamanan yang saya alami, lalu dengan sendirinya, tiba- tiba saya menemukan pilihan jalan keluar dari ketidaknyamanan itu. Setelah itu, seringkali saya senyum-senyum menertawakan diri sendiri, atau bahkan memiliki keberanian luar biasa untuk berbicara 'straight to the point'. Jika dianalogikan dengan laporan akademis, melalui media tulis, saya jadi lebih mudah merangkum sesuatu menjadi bentuk 'executive summary'', yang lebih singkat, padat dan mengena.

Asma Nadia, salah satu penulis favorit saya, beberapa kali menganjurkan para ibu untuk senang menulis. Dari beliaulah, saya pertamakali mendapatkan pencerahan tentang menulis sebagai bentuk terapi. Melalui forum grup menulis di dunia maya, Asma Nadia mengajak ibu-ibu yang sedang dirundung masalah untuk men-defrag memori mereka dengan menulis, agar kepenatan hati bisa terlepaskan, memori bisa ditata lebih rapi, ujung-ujungnya masalah yang awalnya terlihat begitu besar, bisa dibonsaikan menjadi lebih simpel dan lebih mudah dicarikan solusinya.

Saat kecil sampai remaja, kita umumnya memiliki diary-buku harian. Kita lagi sebel sama kakak atau adik, jatuh cinta sama teman sebangku, kekurangan uang jajan - tapi ortu ga mau ngerti , semuanya dituangkan dalam buku mungil nan top secret itu. Diary menjadi sarana release...melepaskan.. Karena biasanya, setelah menulis di catatan harian itu, minimal kita jadi lebih lega, jadi mikir dua kali mau berantem sama adik atau kakak; atau bahkan mungkin mikir dua kali buat jatuh cinta sama teman sebangku (ketemu tiap hari...apa enaknya? :D). Tapi intinya, terapi menulis bisa membuat sumbu lebih panjang, kuat terhadap 'shock-loaded', bisa menghindari kita dari tindakan yang ga perlu; atau bahkan menjadi berani untuk melakukan sesuatu  yang memang perlu.

Dengan menulis, sel-sel syaraf kita mulai mengakses file yang berupa peristiwa, perasaan, atau pikiran yang tersimpan di dalam memori. Untaian kata dan kalimat yang tertulis pada awalnya mencerminkan bagaimana kondisi memori kita. Jika kalimat yang keluar terbaca tidak runut, loncat-loncat, janganlah berhenti. Hapus saja, lalu mulailah menulis kata atau kalimat baru. Atau biarkan, lanjutkan menulis sampai selesai. Itu tandanya proses menulis kita sedang membantu penataan ulang memori.

Sekali lagi, saya tidak bilang bahwa menulis adalah terapi yang tepat untuk semua orang. Tapi, dicobalah. Terutama buat orang setipe saya, si melo nan damai. Yang lebih memilih tidak berkonflik, tapi suka memendam perasaan. Daripada kita ngerumpiin masalah sama orang lain, sampai yang dengar bosan (karena menurut saya, bicara verbal saat low-bat, sedikit sekali kontribusinya sama proses defragmented memori...), atau pusing sendiri mikirin masalah yang tak kunjung selesai...menulislah. Ga usah pake laptop, ambil aja kertas, bolpen, lalu tulislah....Terutama untuk para ibu, yang pasti hari-harinya dipenuhi dengan berbagai macam tantangan, luangkanlah waktu sedikit saja untuk menulis. Apa saja, apa yang terjadi dengan anak-anak hari ini, atau kejengkelan sama asisten rumah. Lama-lama, kita akan merasakan sikap yang lebih tenang, lebih stabil, karena memori kita sudah mulai terjaga rapi. Tidak berantakan, lebih mudah diakses, dan tidak gampang korslet..

Jika menulis sudah menjadi hobi, segera daftarkan diri jadi kompasianer, dan sebarkan berjuta kebaikan dan manfaat lewat tulisan kita....Asyik kan? Salam kompasiana!


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun