Budaya jawa yang adilihung, sikap saling menghormati dan saling menjaga patutnya diterapkan dalam segala situasi dan kondisi. Akibat konten seperti ini tentu menambah masalah bagi pedagang kaki lima lain di tengah pandemi harus membayar sewa lapak yang tak kalah mahal di tempat wisata, mereka yang berjual dengan jujur dan mengikuti aturan paguyuban menjadi tercoreng atas beberapa oknum yang memicu keluhan di media sosial.
Di sisi lain, media sosial memang tempatnya berekspresi tanpa ada batasan standar konten bagi penggunanya. Namun, tentu sebagai pengguna kita harus cerdas dalam menempatkan diri, tidak semua opini bebas disampaikan di media sosial. Media sosial bisa merekam jejakmu dalam berpendapat termasuk sekedar di kolom komentar.
Bagaimanapun juga kehadiran konten yang melibatkan sebuah institusi hingga sektor industri adalah hal yang sensitif. Kamu bisa saja merasa aman dengan tameng "Perlindungan Konsumen", namun jika informasi yang disampaikan tidak benar, tidak kredibel yang pada akhirnya mencemarkan nama baik personal maupun intitusi/lembaga/sektor industri akan berimbas juga pada rekam jejak digital kita.
Harapannya media massa juga jangan kalah dengan media sosial. Dilansir melalui laman berita (Republika, 2021), Abdullah Khusari, Akademisi UIN Imam Bonjol menyampaikan bahwa sekarang ini media massa berada di belakang media sosial, media sosial mengambil seluruh fungsi media massa.Â
Hal yang seharusnya terjadi yaitu, media sosial lah yang seharusnya mengutip segala bentuk informasi dari media massa.
Posisi media massa sebagai garda utama berita terpecaya diharapkan mampu mempertahankan wacana berita yang dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi bagian dari pembentukan citra positif bagi segala sektor industri di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H