Mohon tunggu...
Amir Harjo
Amir Harjo Mohon Tunggu... Lainnya - Bekerja sebagai analis data di salah satu consumer goods

Saya Amir Harjo, jangan panggil saya bunga. Saya suka membaca dari kecil, tapi baru mengasah kemampuan menulis sejak kuliah. Saya banyak menulis di blog pribadi saya. Dulu saya menulis di blogspot, tapi sudah saya matikan. Saya sekarang lebih banyak menulis di medium. Kadang-kadang, saya beruntung karena tulisan saya dimuat di media-media terkenal seperti Detik atau Mojok. Akan tetapi, sebagian besar hanya mampu tampil di blog pribadi saya.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Di Indonesia yang Digdaya adalah Emas, Bukan Index Fund atau Saham

14 Juli 2024   21:19 Diperbarui: 15 Juli 2024   14:58 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Investasi saham ternyata tidak seindah yang disimulasikan oleh para financial planner. Dua buah buku dari salah satu perencana keuangan di Indonesia yang saya baca mengasumsikan imbal balik pertahun sekitar 20% dari saham. Produk keuangan lain yang rendah resiko yang direkomendasikan adalah reksadana saham dan reksandana campuran dengan imbal balik masing-masing 10% dan 15%.

Dengan imbal balik yang sangat tinggi ini, bagaimana saya sebagai karyawan tidak tergiur? Oleh karena itu, sejak tahun 2018 saya sudah mulai menempatkan dana saya ke saham. Sayangnya, hasil investasi saham itu seperti jauh panggang dari api. Imbal balik 20% dari saham itu ternyata sebuah angan surga dari financial planner.

Sangat kecil kemungkinan seorang investor perorangan bisa mengalahkan hasil imbal balik dari index harga saham. Anda kenal Warren Buffet kan? Kenaikan rata-rata saham dia sejak tahun 1965 sampai tahun 2022 "hanya" sekitar 19.8%. Bahkan, kalau dihitung rata-rata sepuluh tahunan, imbal balik dari investasi Warren Buffet mendekati bahkan lebih buruk dibandingkan dengan Index saham S&P 500.

Kenapa mencari saham yang akan cuan sangat sulit? Yang pertama, jelas, anda bukan Warren Buffer atau Lo Kheng Hong. Mereka adalah outlier. Dan menjadikan outlier sebagai sebuah tolok ukur performa orang rata-rata sangatlah tidak masuk akal. Yang kedua, kalau jiwa anda adalah "value investor", anda perlu pengalaman yang mendalam mengenai industri dari saham yang anda pilih, bisa membaca laporan keuangan dan memahami makna dari laporan yang ditulis.

Yang ketiga, sangat sulit untuk "timing the market". Maksudnya, memprediksi kapan harga saham turun atau naik itu sangat sulit. Siapa yang bisa memprediksi bahwa harga saham akan hancur pada tahun 2008? Hanya segelintir. Berapa orang yang diuntungkan dengan naiknya harga saham sebuah bank Syariah? Kemungkinan tidak banyak. Dunia jual beli saham adalah salah satu dunia dengan kebisingan tinggi. Anda akan sangat sulit untuk memilah "signal" dari "noise".

Yang keempat, bisa saja anda bekerja sama dengan banyak untuk ngepom-pom harga saham. Akan tetapi, apakah anda puas dan bahagia dengan menjalankan usaha seperti itu?

Oleh karena itu, salah satu jalan rendah resiko untuk meminimalisir "noise" adalah dengan membuat sebuah produk yang di Amerika dikenal dengan nama Index Fund. Di Indonesia sendiri sebenarnya tidak ada Index Fund murni seperti di Amerika. Index Fund di Indonesia dibelikan ke saham-saham dengan kapitalisasi besar, dengan harapan pergerakannya akan mengikuti pergerakan IHSG. Dan hasilnya sebenarnya tidak mengecewakan. Sejak tahun 2018, sebuah Index Fund di Indonesia memberikan pengembalian sebesar 16% sampai akhir tahun 2023, sedangkan IHSG tumbuh sebesar 17%.

Dengan prinsip kehati-hatian, kita ingin agar saham yang kita pilih adalah saham yang berbasis syariah. Sayangnya, ketika saya menghitung imbal balik dari Index Fund Syariah, hasilnya tidak menjanjikan.

Sumber: Analisa pribadi
Sumber: Analisa pribadi
Jadi investasi apa yang paling pas? Emas akhir-akhir ini sering menjadi pembicaraan karena harganya yang semakin naik. Apakah investasi emas sangat menjanjikan? Saya pernah menganalisa bahwa emas adalah salah satu media investasi yang menguntungkan. Bahkan, dengan menganalisa median imbal balik emas dari tahun 2012 sampai dengan 2022, dari pertama kali membeli sampai sepuluh tahun kemudian, emas cenderung memberi imbal balik yang positif. Meskipun perhitungan ini tidak mempertimbangkan asumsi inflasi. 

Sumber: Analisa pribadi
Sumber: Analisa pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun