Sebagai karyawan, salah satu cita-cita mulia yang ingin kami capai adalah pensiun dengan uang yang cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi orang lain. Tak terkecuali saya.
Sedari dulu, saya rajin membaca buku-buku tentang investasi dan juga buku-buku yang ditulis oleh financial planner terkenal agar nanti ketika sudah tidak bekerja, tetap bisa memiliki support keuangan yang cukup, syukur-syukur kalau misalnya masih bisa berpenghasilan dari investasi yang sudah ditanam.
Akan tetapi, sebagai karyawan, investasi itu tidak semudah yang dibayangkan, apalagi kalau baru memulai karir. Baru setelah pekerjaan saya menghasilkan penghasilan yang cukup lumayan, saya mencoba-coba untuk berinvestasi.
Salah satu investasi yang cukup banyak diulas adalah saham. Dalam salah satu buku investasi dari financial planner, investasi saham biasanya mengasumsikan imbal balik setara sampai 8% setiap tahun. Tentu saja ini hasil yang cukup menggiurkan. Simulasi di Excel membuat saya yakin bahwa saham adalah wahana investasi saya yang paling bagus.
Akan tetapi, saya harus investasi di saham apa? Dengan berbekal pengalaman minim dan membaca artikel-artikel di internet, akhirnya saya memilih beberapa saham yang saya yakini potensial dan akan membuat saya kaya raya. Tetapi angan saya ini sungguh seperti jauh panggang dari api. Saham yang saya tanam ternyata tidak memberi imbal seperti yang saya harapkan.
Menyadari kesalahan ini, saya merasa ilmu saya belum banyak untuk memilih saham mana yang pas dan potensial. Oleh karena itu saya membaca beberapa buku mengenai valuasi perusahaan, cara membaca laporan keuangan dan menilai harga saham.Â
Bukunya memang mudah dipahami, akan tetapi ketika harus memilih saham yang mana untuk memulai, saya berhadapan dengan pilihan yang sulit. Apakah saya harus mulai membaca laporan keuangan dari ratusan emiten saham yang melantai di bursa?Â
Alhasil, dengan alasan kurangnya waktu karena sibuk bekerja, beberapa saham pilihan yang saya beli masih mengandalkan riset ala kadarnya dan alasan emosional. Hasilnya? Mengecewakan.Â
Saya mulai investasi di tahun 2018, dengan asumsi saya membeli semua saham yang pernah saya beli pada tahun yang sama, maka imbal balik dari investasi saham saya adalah sebagian besar bernilai negative. Hanya satu saham yang nilainya naik signifikan. Sayangnya, saham tersebut sudah saya jual ketika pertumbuhannya belasan persen.