Mohon tunggu...
Dessy Purbandari
Dessy Purbandari Mohon Tunggu... -

Writing is my life Senang menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Untuk Ibu, Janji yang Belum Terucap

23 Desember 2013   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nomor peserta: 81 Dessy Purbandari

Untuk Ibu, Janji yang Belum Terucap

Sumber gambar: http://zaalicious.blogspot.com

Ibu, ingatkah kau hari itu? Hari kelulusanku dan aku mengecewakanmu? Sesungguhnya aku tak ingin mengingatnya lagi, tapi kenangan buruk memang akan lebih lama hidup di kepala.

Jika mengingatnya, yang teringat adalah betapa buruk perilakuku dulu. Betapa hanya karena materi aku kesal dan marah padamu. Marah pada ibu yang bahkan tak pernah, bahkan sekali pun, berbicara kasar padaku. Padahal segala yang ibu lakukan hanya untukku. Dan segala yang tak ibu lakukan adalah untuk kebaikanku sendiri.

Aku ingat, sampai hari ini, pada rutinitas rutin ibu di hari pembagian raporku. Karena bagi ibu, hari pembagian raporku adalah hari besar untukmu. Maka, jauh-jauh hari sebelum hari besar itu tiba ibu selalu menyiapkan segalanya. Mulai dari baju merah-putihku yang ibu setrika rapi dengan pewangi terbaik yang ibu miliki, sepatuku—yang alasnya penuh lumpur dan berdebu—ibu semir di malam harinya, dan yang paling spesial adalah di malam itu, saat ibu mengira aku sudah terlelap tidur, ibu akan mengeluarkan baju terbaik milik ibu. Baju yang selalu ibu simpan selama bertahun-tahun. Dan aku tahu, baju itu hanya akan ibu pakai untuk acara yang sangat penting untuk ibu, yaitu hari pembagian raporku.

Apakah hari pembagian raporku sangat berarti untukmu, ibu? Pernah sesekali aku menanyakannya. Namun, tak sekali pun ibu menjawabnya. Hanya tersenyum. Tapi senyuman itu telah menjawab semuanya.

Pada hari pembagian rapor, ibu bangun pagi-pagi sekali. Saat tetangga masih terlelap ibu langsung beranjak menuju dapur. Menyiapkan sarapan terbaik untukku. Nasi goreng telur dadar, kesukaanku. Maka pada pagi hari saat pembagian rapor aku selalu dibangunkan oleh aroma sedap dari wajanmu.

Hari itu aku didandani oleh ibu bak putri raja. Rambutku disisir oleh tangan-tangan ibu, yang terlihat memerah karena setiap hari harus mencuci baju. Ibu mengikat rambutku model kuncir kuda lalu akan menatapku dalam setelah itu. Matamu ibu, aku menangkap sebuah arti yang mengatakan betapa ibu bangga padaku. Benar ‘kan, bu?

Pukul setengah tujuh ibu dan aku siap berangkat. Ibu mendudukkanku di boncengan belakang, yang besi-besinya telah dilapisi busa lembut. Sementara ibu duduk di depan, yang dudukannya masih berupa besi-besi berkelok tebal. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya duduk di situ. Tapi kau tak penah mengeluh dan terus tersenyum menatap ke depan. Seolah seluruh penderitaanmu mengayuh begitu jauh tak ada artinya dibandingkan mengantarku ke sekolah.

Sesampainya di sekolah aku langsung berlari meninggalkan ibu di depan gerbang. Kaki-kaki kecilku tak sabar menanti pengumuman. Aku bergegas menuju lapangan. Sementara ibu berdiri di bawah dedaunan pohon trembesi, menatapku dari jarak yang masih bisa dijangkau penglihatan ibu. Selama di lapangan, kepalaku selalu kutolehkan ke belakang, aku terus mencari keberadaan ibu, takut-takut ibu beranjak pergi. Tapi tidak, ibu masih di sana. Saat namaku dipanggil, aku langsung melambai padamu. ‘Ibu, itu namaku.’ Begitulah kira-kira maksudku. Aku tak dapat dengan jelas melihat bagaimana wajahmu saat itu, tapi kulihat tangan kananmu turut melambai padaku.

Aku juara satu umum, ibu. Bukankah aku hebat? Apa aku sudah sehebat dirimu?

Senyum ibu tak pernah lepas kala itu. Senyum yang bagiku indah sekali. Meski ibu tetap diam, namun dapat kutangkap keharuan serta kebanggaan besar terlukis di raut wajahmu. Selepasnya ibu akan memelukku, mengelus pundakku, menyiratkan ucapan terima kasih yang tak pernah ibu ucapkan melalui kata-kata. Memperlakukanku seolah aku adalah pahlawan untukmu.

Lalu kita pun pulang, melewati jalanan yang kini dipenuhi oleh kendaraan bermotor dengan langkah sepeda yang lebih ringan.

Momen itu begitu indah, ‘kan, bu? Namun, aku merusak semuanya. Segala jerih payahmu untukku kuabaikan hanya gara-gara tuntutan yang belum mampu ibu wujudkan untukku. Padahal ibu, yang telah membimbingku, yang tak pernah membentakku, tak pernah sekali pun menuntut apa-apa dariku ….

Sepeda mini warna merah yang kusimpan rapi di garasi adalah pengingat akan kebodohan sikapku. Aku masih ingat, dengan jelas, aku memakai seragam merah putih saat itu. Tubuhku sudah lebih tinggi dan menyamai ibu.

Hari itu aku merengek padamu. Meminta ibu membelikanku sepeda baru. Yang bagus modelnya, dengan keranjang bentuk persegi empat utuh, tak peyot seperti yang biasa kaugunakan untuk mengantarku. Aku begitu memaksamu. Tak peduli melihat mata ibu yang begitu sayu karena kelelahan.

“Nanti, ya.”

Itulah jawabanmu. Aku kesal, tanpa menyadari bahwa jawaban itu sebenarnya adalah janji yang lebihibu tujukan untuk diri ibu sendiri. Bahwa ibu pasti akan memberikannya untukku, tapi bukan sekarang.

Namun, aku yang tak puas justru semakin mengganggumu setiap hari. Merengek dan merengek. Saat itu aku belum puas dan masih terus merengek meminta sepeda yang kuinginkan. Aku ingin membuat ibu kesal hingga akhirnya ibu tak tahan dan membelikanku sepeda. Namun ibu selalu tahan, dan ibu malah menghadapiku dengan sangat sabar. Aku hilang akal. Hingga aku memilih untuk tak belajar. Toh, walaupun aku belajar keras, hingga meraih juara satu umum, itu tak akan merubah apa pun. Aku tetap tak akan mendapatkan sepeda baru karena alasan yang sebenarnya adalah uang. ‘Maka tak perlulah aku belajar keras,’ kan? pikirku.

Yah, aku tersesat, bu. Dengan jalan pikiranku sendiri.

Hingga akhirnya aku tiba pada hari di mana penyesalan pun sudah tiada gunanya.

Aku masih marah dan kesal hingga hari pengumuman kelulusan tiba. Sama sekali tak ada penyesalan di dadaku atas kelakuanku yang lalu. Aku seolah tuli dan tak lagi peduli akan nasib prestasi yang telah susah payah kupertahankan sejak kelas satu. Aku bahkan sudah tak peduli bagaimana tanggapan ibu nanti jika melihat hasil ujianku kelak.

Tapi ibu tidak. Bagi ibu, hari itu tetap hari yang sangat berarti walau bagaimanapun hasil yang kuberikan untukmu. Maka jauh-jauh hari sebelum hari besar itu tiba ibu pun sibuk menyetrika baju merah-putihku dengan pewangi terbaik yang ibu miliki, sepatuku masih ibu semir pada malam harinya dan ibu tetap mengenakan baju terbaikmu pada hari itu. Tanpa mengenal lelah ibu mengayuh sepeda, tertatih-tatih membawaku di belakangmu, dengan senyuman terpatri di wajahmu. Tak ada yang berubah darimu.

Aku tak mampu bicara saat ibu memelukku dan menyuruhku untuk menunggu sementara ibu menerima amplop berisi surat kelulusanku. Ibu kemudian berjalan tenang memasuki aula sekolahku yang sempit. Tiba-tiba ada rasa sakit di dadaku melihat punggungmu perlahan-lahan menjauh lalu menghilang di balik pintu.

Apa ini yang kuinginkan? Melukai hati ibu?

Detik demi detik kulalui dengan berat. Di luar suasana begitu riuh. Sepuluh besar peraih nilai ujian tertinggi di sekolahku diumumkan satu persatu. Teman-teman riuh rendah meneriaki namaku sejak awal pengumuman. Namun hingga peringkat sepuluh dibacakan namaku tak kunjung keluar. Teman-teman kasak-kusuk membicarakanku. Aku membeku di tempat.

Aku menengok ke aula. Ibu tak kunjung keluar. Aku takut membayangkan apa yang dialami olehmu di dalam sana. Apa aku tak lulus? Apa aku telah mempermalukanmu, ibu?

Akhirnya, di antara kerumunan orang tua yang berdesakan keluar aula, aku melihatmu di antara mereka. Ibu berjalan tenang sembari menyeka keringat menggunakan ujung kerudung.

Kulihat ibu menoleh ke tengah lapangan. Di sana, kesepuluh jawara itu tengah menerima hadiah. Aku tahu ibu pasti mengharapkan aku ada di antara mereka. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu saat tak melihatku di depan sana. Saat aku tak lagi menjadi si nomor satu.

Sejenak aku berpikir ibu akan marah, lalu berbalik pergi meninggalkanku dan enggan menatap wajah anak yang telah mengecewakanmu ini lagi.

Tahukah kau, ibu? Wajahku pias saat melihatmu benar-benar beranjak pergi. Aku ingin memanggilmu tapi suaraku teredam riuh suara teman-teman yang berteriak bahagia saat melihat surat kelulusan dari orang tua mereka.

‘Ibu, tunggu aku.’ Itulah yang ingin aku ucapkan padamu. Ibu melangkah, semakin jauh. Mataku lekat memandangi ibu sampai akhirnya ibu berhenti di bawah pohon trembesi.

Ibu tak meninggalkan aku. Aku merasa seperti bermimpi saat melihatmu melambai. Kini ibulah yang terlebih dahulu melambai padaku. Dengan kaku aku membalas. Biasanya aku akan melambai padamu dari depan sana, mengatakan dengan bangga bahwa akulah juaranya. Namun kali ini rasanya canggung sekali, bu, saat aku melambai dari sini.

Apa aku telah mengecewakanmu, ibu?

Namun ibu tersenyum saat aku menghampirimu. Senyum indah yang tak sedikit pun luntur. Senyum yang selalu ibu tunjukkan padaku saat aku masih juara satu. Selepasnya ibu pun memelukku, mengelus pundakku, menyiratkan ucapan terima kasih atas hasil yang kuberikan untukmu. Bahwa apa pun hasil yang kudapat, kau tetap bangga padaku.

Seharian aku mengurung diri di kamar. Menolak melakukan apa pun. Saat ibu memanggilku untuk makan, aku tak menjawab dan pura-pura tidur. Mungkin saat itu kau tak tahu, bahwa aku sebenarnya tengah meringkuk di kasur, menangis terisak sampai tubuhku bergetar menggigil. Berkali-kali aku berusaha meredam tangis dengan tertidur, namun ketika bangun aku tersadar kalau saat tertidur pun aku masih mengeluarkan air mata.

Saat itu aku seperti melihatmu, ibu. Di dekatku, menepuk pundakku seperti saat kukecil dulu. Menenangkan aku dari tangisanku. Tanganku bergetar menggigil. Ibu yang menyayangiku tanpa syarat, yang mendidik dan membesarkanku tanpa harus kuminta, ibu yang senantiasa menerima apa adanya aku. Mendadak aku merasa takut. Takut kehilanganmu. Aku tak ingin Allah tak lagi memberiku kesempatan membahagiakanmu.

Bu, inilah jawaban atas pertanyaanmu yang belum kujawab ….

Aku ingat aku menghambur keluar, memeluk pinggangmu erat yang saat itu tengah sibuk menjahit. Ibu terkejut namun membiarkanku memelukmu. Baju dastermu basah oleh air mataku. Aku menangis dalam diam.

“Ada apa, Nak?” tanyamu bingung.

Inilah jawabanku, ibu. ‘Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin memelukmu.’

Tapi ibu tak mendengar jawaban ini karena saat itu aku hanya menggeleng. Jari-jemarimu bergerak lembut mengelus tanganku yang melingkari pinggangmu. Kau terus bertanya ada apa dan aku terus menggeleng, karena memang tak terjadi apa-apa. Aku hanya ingin mengungkapkan betapa sayangnya aku padamu. Tanpa kata-kata.

“Tenanglah, Nak. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kalau masalah sepeda, besok kita ke pasar, ya. Kamu pilih sepeda yang kamu mau di sana,” bujukmu.

‘Tidak, bu. Aku tak mau sepeda lagi. Aku hanya mau ibu….’ Itulah suara batinku yang terus menjerit. Aku tak memerlukannya lagi, bu. Aku hanya mau ibu. Biarlah sepeda lama itu yang akan membawaku bersekolah.

Sore itu gelap. Hujan dan angin yang menyatu adalah irama duka yang membuatku pilu. Azan maghrib terdengar dan kau menyuruhku untuk segera menunaikan sholat. Aku mengangguk, pelan lalu bangkit seraya mengecup pipimu sekilas. Mengucap janji yang tak pernah kuungkap. Bahwa aku, anakmu, akan selamanya berusaha agar senyum banggamu tak pernah hilang dari wajahmu.

Untuk ibu, janji yang belum terucap….

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group  FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun