Inklusi adalah praktik yang mendidik semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas berat atau ganda, di sekolah umum yang umumnya diikuti oleh anak-anak tidak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif adalah praktik yang bertujuan untuk mewujudkan hak asasi manusia atas pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, memberikan semua anak, tanpa kecuali, kesempatan pendidikan yang berkualitas,Â
sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mewujudkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama. . Pendidikan inklusif juga bertujuan untuk mempercepat kurikulum wajib sekolah dasar dan meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah dengan mengurangi retensi kelas dan putus sekolah bagi semua warga negara.
Sikap guru terhadap pendidikan inklusif merupakan gambaran positif atau negatif dari keterlibatan guru dalam perkembangan anak dengan kebutuhan khusus yang bertanggung jawab guru menjawab dan juga menjelaskan ruang lingkupnya mana anak berkebutuhan khusus diperbolehkan sekolah. Ada beberapa factor yang mempengaruhi sikap guru terhadap inklusi, baik itu dilihat dari siswa dan guru itu sendiri.Â
Pertama, pendekatan guru terhadap siswa berkebutuhan khusus biasanya tergantung pada jenis hambatan siswa, beratnya hambatan siswa dan kebutuhan pendidikan siswa. Persepsi guru tentang jenis hambatan siswa dapat dibedakan menurut tiga dimensi, yaitu hambatan fisik dan sensorik, perilaku kognitif dan emosional siswa.
Kedua, dari faktor gender, faktor gender ini terkait dengan tuntutan gender dalam kaitannya dengan inklusi. Beberapa peneliti menemukan bahwa perempuan memiliki toleransi yang lebih tinggi daripada guru laki-laki untuk inklusi siswa berkebutuhan khusus. Ada kecenderungan guru perempuan lebih positif dalam mengintegrasikan anak-anak dengan masalah perilaku daripada guru laki-laki.Â
Ketiga, dari usia dan pengalaman mengajar guru, guru yang lebih muda dengan pengalaman mengajar yang kurang memiliki sikap yang baik terhadap integrasi, guru yang berpengalaman lebih enggan terhadap guru yang bersedia menerapkan program integrasi kepada siswa berkebutuhan khusus. Ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa guru baru yang berkualitas memiliki sikap positif terhadap program integrasi.
Keempat dilihat dari tingkat kelas yang diajar, seiring bertambahnya usia siswa, sikap positif guru akan menurun, mencerminkan fakta bahwa guru yang mengajar di kelas tertinggi lebih memperhatikan mata pelajaran dan kurang memperhatikan perbedaan individu siswa. Bagi guru yang lebih memperhatikan mata pelajaran, memiliki siswa berkebutuhan khusus di kelasnya menjadi masalah tersendiri dalam praktik pengelolaan kegiatan kelas.Â
Kelima pelatihan, Faktor lain yang mempengaruhi daya tarik guru adalah pengetahuan yang mereka miliki tentang siswa berkebutuhan khusus, yang mereka kembangkan selama pelatihan. Faktor ini dipandang sebagai faktor penting dalam mempengaruhi sikap guru terhadap penerapan strategi inklusi. Tanpa rencana pelatihan guru tentang pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus, akan sulit untuk memasukkan siswa tersebut ke dalam kelas mainstream.
Terakhir yaitu keyakinan guru, Jordan, Lindsay, dan Stanovich (1997 dalam Avramidis and Norwich, 2002) menjelaskan bahwa, guru yang beranggapan b ahwa ke b u t uhan khu s u s merupakan sesuatu yang melekat dengan siswa, memiliki cara mengajar yang kurang efektif dibandingkan dengan guru yang beranggapan bahwa lingkungan di sekitar siswa dapat menjadi pelengkap bagi masalah atau hambatanyang dimiliki siswa.
Semoga tulisan ini memberikan pemahaman pembaca. Salam dari saya mahasiswi Administrasi Pendidikan Universitas Jambi. Wassalam, Jambi Indonesia, 3 Juni 2022.
Referensi: