Semua berawal ketika aku menemukan matamu di senja itu. Mata cokelat yang kurenangi semalaman di bawah remang rembulan. Aku menemukan banyak wajah di dalam kotak memori matamu. Wajah-wajah yang tersenyum manis, juga puluhan bibir merah yang sempat merekah di depanmu. Aku tahu, kaumenyimpannya rapat-rapat, seolah tak seorang pun kauijinkan untuk mengambil bibir-bibir itu.
Tepat di ujung mata, hampir melompati retinamu, kutemukan wajahku. Begitu berdebu, rupanya kau tak pernah lagi menyentuhnya sejak dua tahun lalu, di mana kita berjumpa untuk pertama kali di persimpangan jalan biru. Aku menamainya persimpangan jalan biru, sebab aku telah hampir selesai menangis sebelum melihat mata cokelatmu yang menggodaku.
Kautersenyum padaku. Hanya tersenyum, lalu kaupergi meninggalkanku tanpa sempat terlontar, Hai. Aku pun begitu, menyimpan Hai untuk pertemuan kedua yang jauh dari rencana. Kaupasti akan tertawa jika mendengar petualanganku.
Dengarkanlah, aku mau bercerita.
Setelah perjumpaan itu, aku mengejarmu. Aku melompati mata-mata yang berserakan di tepian jalan. Sesekali aku menjatuhkan diriku pada mata yang lebar dan bersinar. Mata itu bercerita padaku bahwa dia telah melihatmu tiga puluh enam jam yang lalu. Tanpa mengembalikan terima kasih, aku berlari mengejarmu. Mata itu memakiku kemudian memakluminya.
Aku berhenti pada sebuah gurun pasir, begitu kering. Mencarimu begitu melelahkan dan mataku pun merindukan hujan. Hujan turun beriringan dengan hati yang pilu. Rupanya hatiku sedang bersedih. Mungkin karenamu.
Aku tertidur di tengah kerinduan yang besar. Aku sama sekali tak inginkan itu, sebab akan membuang banyak waktuku untuk bisa secepatnya bertemu denganmu. Tapi aku hanyalah seorang manusia biasa yang juga memiliki rasa lelah.
***
Pagi itu, aku terbangun. Mata yang bersinar terang itu menatapku. Aku pun bertanya pada mata dunia itu tentangmu. Mata itu menyuruhku untuk menangkap dirinya ketika jatuh ke barat dan di sanalah kauberada.
Kautahu? Aku berlari mengejar mata itu. Aku ingin menangkapnya sebelum malam membenamkannya, hanya agar bisa menjumpaimu. Kakiku merasakan panasnya pasir-pasir, keringatku bercucuran tiada henti, kerongkonganku kering merindukan seteguk air, namun aku tak pedulikan semua itu. Aku hanya peduli padamu.
Aku tiba di barat lebih dulu sebelum mata yang bersinar itu. Dan ternyata, mata itu tidak pernah berbohong. Aku menemukanmu pada remang senja di antara dua bola mata cokelat yang kurindukan. Tetiba aku lupa berapa banyak jarak yang telah kutempuh untuk menemukanmu, berapa ratus malam yang dingin sembari memimpikanmu, juga luka-luka yang menghiasi kedua kakiku.