Perempuan itu berlari dengan menahan senja pada rambutnya. Kilau keemasan membingkai mahkotanya. Dibawanya senja kembali ke beranda rumahnya, dituang ke dalam cangkir lalu menyecapnya. Ia akan melakukannya setiap sore. Seperti anak-anak yang menghabiskan waktunya dengan layang-layang, perempuan itu juga menghabiskan waktunya dengan menunggu.
Yang tersisa setelah senja menghilang adalah gerimis. Dingin semakin menusuk namun ia enggan mempertebal bajunya. Telunjuknya mulai mengetuk-ngetuk punggung meja. Berulang kali ditolehnya jam dinding yang tergantung di atas kepalanya.
“Kita telah menjadi sekumpulan cerita yang ditulis seorang wanita. Kemarin orang-orang mendobrak pintu rumahnya. Wanita itu tertelungkup di atas lantai. Tubuhnya membusuk. Lalu angin menerbangkan kisah kita, menjatuhkannya di dekat perapian. Bersanggul dan berjarik, yang dipanggil sebagai ibu, menghampiri kisah kita. Ibu memungut kisah kita dan meletakkannya di atas bara api. Kisah kita kemudian menjadi kepulan asap yang perlahan menghilang.”
Perempuan itu menggeser telunjuknya pada genangan tetes hujan di atas meja. Atap beranda rumahnya berlobang, tak jua meminta orang untuk membenahinya. Biar tetes hujan menemaniku di sini, sampai nanti, sampai mati, begitulah katanya.
“Masakan kisah kita berakhir begitu saja? Lenyap? Tidak mungkin dan tidak akan kubiarkan terjadi. Aku akan menyuruh wanita yang lain untuk melanjutkannya. Kisah kita kemudian menjadi kepulan asap yang perlahan menghilang…melewati cakrawala, menggumpal, menjadi anak-anak awan.”
Bibirnya membentuk sabit. Semakin lama, semakin lebar. Kemudian tertawa. Hahaha…
Jemarinya memainkan ujung-ujung rambut. Memilinnya sebentar, lalu melepaskannya. Helai-helai rambutnya berputar, seperti putaran gangsing yang melemah tapi indah. Pandangannya menerawang jauh ke ujung jalan yang tertutup kabut.
“Kemudian angin membawa anak-anak awan yang adalah kisah kita ke tengah lautan. Kisah kita menjelma badai yang menghajar para penjala ikan. Orang-orang itu tergulung jaringnya sendiri, diselimuti ombak, lalu mati dimakan ikan-ikan. Setahuku, alam itu adil. Bukan hanya ikan saja yang berada di dalam mulut manusia, tapi manusia juga akan berada di dalam mulut ikan.”
Perempuan itu berhenti memilin rambutnya, mengambil cangkir. Dia mengaduknya lebih cepat. Semua orang tahu dan melihatnya sendiri –terutama para tetangga– bahwa cangkir itu kosong, selalu kosong. Masih penuh dengan rindu, katanya pada orang-orang yang menanyainya sedang apa.
“Astaga! Bagaimana mungkin kisah kita bisa sejahat itu? Apa dosa mereka sehingga alam membiarkan kisah kita menghukumnya?”
Kedua tangannya mengepal, memukul-mukul punggung meja. Cangkir yang katanya masih penuh dengan rindu bergetar, bergeser perlahan, terjatuh ke permukaan lantai, pecah.