[caption caption="pic: c2.staticflickr.com"][/caption]Aku menunggu ibu pulang. Duduk di dekat jendela, melihat matahari yang perlahan jatuh di ujung jalan. Burung-burung yang saban sore bertengger di ranting kering di depan rumah, akan berterbangan ketika nenek dengan sepeda tuanya melintas tepat di bawahnya.
Kata nenek, tubuhku begitu bau. Bajuku memang penuh lumpur yang mengering. Biasanya ketika aku malas mandi, ibu akan berteriak-teriak dari balik pintu kemudian menggendongku untuk dimasukkan ke dalam bak mandi. Ibuku tidak jahat meskipun aku sering memukulinya ketika ibu menyabuni tubuhku.
Duduk di dekat jendela, kini adalah hobi baruku. Menghabiskan sisa matahari hingga tak mampu lagi melihat apa pun di luaran sana. Aku memaksa tubuhku untuk pergi mandi, juga menerima kenyataan bahwa ibu tidak akan pernah kembali.
“Martin, besok nenek akan membongkar jendela itu dan menggantinya dengan dinding.”
Aku terdiam. Sudah berulang kali nenek mengancam bahwa akan menghilangkan jendela itu. Alasan nenek tidak masuk akal, masakan karena bingkai jendela yang merapuh lantas nenek menghancurkannya?
“Apakah nenek akan mengusir ibu?”
“Nenek hanya memperbaiki bagian dari rumah kita yang rusak, Martin.”
“Ini rumah ibu juga, bukan? Apakah nenek tidak meminta persetujuan ibu terlebih dahulu?”
“Martin, ibumu tidak akan kembali lagi ke rumah ini.”
“Ibu pasti kembali dan aku akan menunggunya dari balik jendela itu. Suatu saat nanti ibu akan menempelkan dahinya pada kaca jendela untuk mencariku.”
Aku meninggalkan nenek, berlari menuju kamar mandi untuk membenamkan kepalaku ke dalam bak. Air mataku keluar begitu saja untuk kemudian melarut bersama air sabun.